Tuhan yang Anonim

Jumat, 30 April 2021

Menurutku, ketimbang kucing, anjing lebih menggemaskan, dan yang terpenting mereka penurut. Soal minuman, aku tak perlu pikir panjang untuk bilang kopi lebih nikmat dibanding teh―meski yang biasanya kuminum adalah kopi instan. Namun, itu semua hanyalah pemikiranku di masa lalu. Dan saat mengenangnya lagi, aku jadi geli sendiri.

Aku yang sekarang, mencintai kucing sama besarnya dengan anjing, bahkan mungkin lebih. Seekor kucing liar yang kerap mampir ke rumah menjadi penyebabnya. Meong, begitu aku dan keluarga memanggilnya, dia memikat hati kami, menjadi kesayangan seisi rumah. Sedangkan tentang minuman, setelah melewati banyak waktu, aku mendapati teh lebih mampu melonggarkan ketegangan yang mengikatku, sementara kopi hanya akan membuat rasa tegang itu kian menjadi.

Kita selalu berubah. Diri kita yang dulu, tidak akan sama dengan yang sekarang, pun kita yang sekarang bisa jadi akan jauh berbeda lagi di masa depan. Dengan atau tanpa hadirnya pandemi, kita tidak bisa mencegah diri kita dari perubahan, yang adalah ciri dasar kehidupan.

Pandemi dan perubahan besar-besaran yang mengikutinya, membuat banyak orang kewalahan. Berubah bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi dalam waktu tiba-tiba dan dipaksa. Di tengah serangan perubahan itu, aku bersyukur setidaknya hobi membacaku tetap berjalan dengan stabil.

Aku tidak tumbuh di keluarga yang gemar membaca. Namun, meski mengaku tak mengerti denganku yang sebegitu senangnya membaca, mereka tetap saja membelikan majalah anak secara teratur sewaktu aku kecil. Di masa SMA, aku berhasil melahap seluruh seri Harry Potter berkat menjadi anggota di sebuah perpustakaan. Kalau tidak begitu, mungkin sampai detik ini aku tak akan tahu cerita J.K. Rowling yang melegenda itu, karena harga tiap bukunya tidaklah murah. Sejak dulu hingga kini, meski tertatih-tatih, aku tetap menjaga nyala itu: kecintaanku membaca dan kesukaanku pada buku.

Soal buku, aku tidak pernah membatasi diri dengan hanya membaca genre tertentu. Aku membaca apa saja: fantasi, detektif, roman, komedi, hingga pengembangan diri. Tak masalah melahap buku apa pun, selagi aku merasa terhubung dengannya. Selain membaca, hobi lainku adalah menonton. Di waktu santai, aku senang menjelajah YouTube, mencari video yang menarik di sana untuk ditonton. Kebiasaan bertualang mencari tontonan YouTube inilah yang beberapa tahun lalu membawaku mengenal sosok Sunny Dahye.

Sunny Dahye adalah YouTuber asal Korea Selatan yang sangat fasih berbahasa  Indonesia. Dia pindah ke Indonesia sejak usianya empat tahun, bahkan menjalani pendidikan dari TK hingga S1 pun di Indonesia. Aku suka menonton Sunny di YouTube karena pembawaannya yang ceria dan menyenangkan. Sampai suatu hari, Sunny bilang dia tengah menulis sebuah buku. Kabar itu sungguh membuatku senang bukan main.

Sunny Everywhere, buku yang Sunny tulis, akhirnya terbit tahun 2019, tapi aku baru berkesempatan membacanya di awal 2021. Sebagai seseorang yang cukup sering menonton video YouTube-nya, aku sungguh terheran-heran, karena Sunny yang diam di buku amat suram. Namun, anehnya, aku merasa lebih dekat dan nyaman dengan Sunny yang ada di situ, karena ternyata kami punya banyak kisah hidup yang sama.

Dalam bukunya, Sunny bicara blak-blakan perihal masa lalunya yang getir. Persona Sunny yang cerah dan ceria di YouTube, ia tanggalkan begitu saja di buku. Di sana, ia sungguh telanjang, membagikan rasa sakit dan luka hatinya.

Sama seperti Sunny, aku pun pernah mengalami hidup yang seperti neraka. Di masa sekolah, aku sering mengalami perundungan. Kepribadianku yang terlalu berbeda membuat teman-teman sering merisakku. Untuk alasan itu jugalah dulu aku menjadi lebih dekat dengan buku, ketimbang manusia di sekitarku. Aku juga bisa paham perasaan Sunny yang sempat kesulitan beradaptasi di kampus. Aku pun pernah berada di titik itu, bahkan selalu mempertanyakan apakah tempatku memang sudah benar di situ, tapi kalau ‘ya’ kenapa aku tak pernah merasa bahagia? Lewat Sunny Everywhere, aku kian percaya bahwa tiap orang sejatinya punya kegelapan yang disembunyikan, tak terkecuali Sunny, yang memilih menunjukkan sisi cerahnya saja di depan kamera.

Membahas soal hobi, tak hanya membaca dan menonton, sesekali aku juga menulis puisi. Kendati begitu, sejauh ini, tak banyak buku puisi yang sudah kumiliki, juga hanya segelintir penyair yang kugemari. Aan Mansyur adalah satu dari segelintir itu. Dengan tujuan menambah koleksi buku puisi, maka kuputuskan membeli Percakapan Paling Panjang Perihal Pulang Pergi karya Theoresia Rumthe dan Weslly Johannes. Sebetulnya, blurb di sampul belakang buku itulah yang membuatku semakin yakin untuk membeli. “Kita akan mengingat tahun ini. Kita mengingat bagaimana kebaikan menyelamatkan bumi,” begitu bunyinya. Sungguh manis dan menyentuh.

Nama Theoresia Rumthe sebetulnya tidaklah asing di telingaku. Dulu sekali, sekitar tahun dua ribu belasan awal, aku sempat membaca beberapa tulisan yang ia unggah di blognya. Aku tidak ingat kenapa aku bisa sampai di sana, tapi yang jelas sejak hari itu, begitu mendengar nama Theoresia Rumthe, aku terkenang akan tulisan-tulisan indah dan penuh sihir. Lain halnya dengan Weslly Johannes, aku tidak punya gambaran sama sekali akan tulisannya, dan tak pula menaruh ekspektasi tinggi tentang itu.

Aku ingat betul perasaan kaget yang memenuhiku saat membaca buku tersebut. Kenapa puisi di dalamnya tidak secerah kata-kata yang ada di blurb? Aku merasa terkecoh. Sungguh kontras memang, sewaktu menunggu tanggal berganti menjadi peringatan hari lahir, aku malah terjebak dalam dinginnya puisi-puisi kematian di sana. Malam itu, ditemani Percakapan Paling Panjang Perihal Pulang Pergi, sesekali aku melempar pandang ke langit. Di sana, bintang-bintang berkedip bagai nyala lilin. Diam-diam, aku berdoa: tentang mereka yang pulang, tentang mereka yang pergi.

Tidak pernah mudah memang untuk membahas tentang kematian. Padahal, kematian bukanlah sesuatu yang berada jauh dan berseberangan dengan kita. Dia lebih seperti bayangan, selalu bersisian dengan kehidupan. Belakangan ini, kematian mengambil banyak orang di sekitarku: nenek baik hati yang kukenal sejak aku bisa mengingat, paman yang selalu menjaga desaku tetap terang di malam hari, kawan di bangku SMP, teman sekelas saat kuliah, kenalan sefakultas yang juga rekan menulis. Kematian menjemput siapa saja: yang tua, yang muda.

Membaca puisi Theoresia Rumthe dan Weslly Johannes yang bertemakan kematian, membuatku lantas merenung banyak. Menghitung mereka yang pergi, menghitung sisa usia yang entah tinggal berapa. Di singkatnya masa kehidupan ini, aku jadi bertanya-tanya: apa hidupku sudah bermakna dan tak sia-sia?

Puisi-puisi dalam Percakapan Paling Panjang Perihal Pulang Pergi mau tak mau memaksaku untuk menerima bahwa kematian bukanlah hal yang bisa dihindari. Lewat buku tersebut, aku diajak merenungi kematian yang selama ini sering kuabaikan. Di sana, puisi Theoresia Rumthe dan Weslly Johannes disusun secara bergilir, layaknya percakapan puitis. Semua bertalian, berkesinambungan, menciptakan harmoni yang indah. Di puisi yang berjudul Sampai, keduanya berkolaborasi, seakan mengucap salam perpisahan untuk menyudahi buku tersebut. Meski tahun bergulir, aku masih tetap tersihir dengan pesona kata yang Theoresia rangkai. Dan kendati baru berkenalan dengan tulisan Weslly Johannes, aku menemukan banyak sekali puisinya yang menjadi favoritku, bahkan teramat banyak. Dia menyulap kata menjadi sedemikian indahnya, sampai aku takjub sendiri.

Aku punya kebiasaan unik dalam memperingati hari lahirku, yakni memberi hadiah untuk diri sendiri. Tahun ini, hadiah itu berupa novel Keajaiban Toko Kelontong Namiya karya Keigo Higashino. Ada cerita panjang antara aku dan novel ini, itu semua bermula dari Yamada Ryosuke.

Yamada Ryosuke merupakan penyanyi sekaligus aktor Jepang yang kuidolakan sejak 2010. Di hari-hariku yang gelap, khususnya di awal masuk kuliah, dia banyak membantu mencerahkan hatiku. Tak sampai di situ, karena dia jugalah aku kembali menekuni dunia menulis yang sudah lama kutinggalkan. Bermula dari iseng membuat fanfiction tentangnya di catatan Facebook, sampai akhirnya berani membuat cerita dan karakter sendiri dalam bentuk novel yang kemudian terbit di tahun 2013. Aku yang sebegitu menggemari Yamada Ryosuke ini, tentu tak ingin melewatkan film dan drama yang dibintanginya, termasuk Namiya Zakkaten no Kiseki.

Suatu hari, di tahun 2017, masih jelas di ingatan bagaimana aku bergegas mengunjungi Gramedia untuk memburu karya Keigo Higashino, tapi satu-satunya buku beliau yang kutemukan di sana hanyalah Kesetiaan Mr. X. Keigo Higashino, aku tak pernah mendengar nama itu sebelumnya, akan tetapi begitu tahu film yang Yamada Ryosuke bintangi diadaptasi dari novelnya, aku langsung penasaran dan ingin berkenalan dengan karya beliau. Hari itu, meski agak kecewa, akhirnya aku pulang dengan membawa Kesetiaan Mr. X. Buku itulah yang menjadi awal perkenalanku dengan Keigo Higashino.

Lalu, di tahun 2018, usai menonton film Namiya Zakkaten no Kiseki dengan Yamada Ryosuke yang memerankan tokoh Atsuya di sana, keinginanku untuk membaca karya Keigo Higashino yang bestseller itu kian menjadi. Lantaran populernya kisah itu, di tahun yang sama yakni 2017, selain Jepang, Tiongkok juga membuat film berdasarkan adaptasi dari novel tersebut.

Aku pun terus berharap dan menanti keajaiban, bahwa suatu hari ada penerbit yang tergerak menerjemahkan kisah indah milik Keigo Higashino itu. Sampai kemudian, di akhir 2020, Gramedia mewujudkan harapanku. Aku tidak bisa menggambarkan perasaan senangku sewaktu pertama kali memegang buku Namiya Zakkaten no Kiseki―yang sudah dialihbahasakan menjadi Keajaiban Toko Kelontong Namiya. Akhirnya, setelah sekian tahun penantian….

Keajaiban Toko Kelontong Namiya yang kumiliki merupakan cetakan kedua. Untuk orang yang sudah menantikannya sejak lama, aku terhitung terlambat. Namun, aku yang sekarang sangat memercayai bahwa segala sesuatunya tepat waktu.

Keajaiban Toko Kelontong Namiya berkisah tentang sebuah toko yang sangat populer lantaran pemiliknya membuka jasa layanan konsultasi gratis melalui surat. Kakek Namiya, si pemilik toko, membuatku kagum dengan semangat altruistiknya, bahkan ia berhasil mencubit sisi hatiku yang begitu gelap. Beliau bukanlah orang yang kaya raya, juga tidak berasal dari keluarga terpandang, tapi dia tak pernah meminta bayaran pada mereka yang membutuhkan jasa konsultasinya. Sedari awal, uang tak pernah menjadi fokusnya. Kakek Namiya juga bukanlah seorang psikolog atau psikiater, tapi dia selalu berusaha memberi saran terbaiknya pada mereka yang datang bertanya. Setiap kata dalam balasan suratnya ia pilih dengan sangat hati-hati, karena dia tahu betul, kata-kata bisa menyembuhkan tapi di sisi lain juga menghancurkan.

Kakek Namiya yang tulus memberi saran terhadap mereka yang bertanya, pada akhirnya berhasil mengubah dan menyelamatkan hidup banyak orang. Lewat kisah ini, aku makin percaya: kebaikan hanya akan melahirkan kebaikan. Selain itu, lewat Keajaiban Toko Kelontong Namiya, aku pun makin yakin kalau setiap orang yang kita temui dan beririsan dengan hidup kita bukanlah suatu kebetulan belaka. Kita memang harus bertemu dengan orang-orang tertentu, di waktu tertentu. Betapa ajaibnya Dia yang mendesain sekuens hidup kita dengan sebegitu sempurna.

Ada satu kutipan dalam Keajaiban Toko Kelontong Namiya yang begitu kusukai. “Kita sering dengar bahwa sebenarnya orang-orang merasa bersyukur selama ada yang mau mendengarkan cerita mereka.” Kata-kata tersebut membuatku mengingat masa gelap itu.

Beberapa tahun lalu, orang-orang yang tadinya kukira teman, berpaling menjauh. Satu demi satu, mereka pergi. Sampai aku merasa seperti dicampakkan dari atas langit dan ditinggalkan begitu saja dalam dunia belantara ini. Aku yang tak punya siapa pun untuk kubagikan perasaan ini, semakin hari semakin kesulitan. Sampai akhirnya, beban yang terus-terusan kutimbun itu meledak dalam wujud panic attack (serangan panik).

Serangan panik itu terjadi sewaktu aku tengah mengikuti misa di gereja. Tiba-tiba, aku merasa seperti ada yang menggenggam jantungku kuat-kuat. Aku jadi kesulitan bernapas, seakan oksigen di sekelilingku habis. Tak sampai di situ, tubuhku pun mengalami kejang, hingga jari tanganku bengkok-bengkok. Kejadian itu sungguh mengguncangku, menyisakan tanda tanya besar di kepala: sebenarnya aku ini kenapa?

Sebetulnya, tak hanya sekali itu aku mengalami serangan, wajar jika pada ahirnya aku merasa takut kalau-kalau ada sesuatu yang salah dalam diriku. Aku yang kebingungan memutuskan bertanya kepada psikiater. Menemui psikiater bukanlah hal yang baru bagiku. Sebelumnya, di tahun 2015, aku sudah berkali-kali melakukan konsultasi. Waktu itu, aku diberitahu adanya gejala bipolar dan gangguan kecemasan dalam diriku. Namun, saat kembali memeriksakan diri, aku kaget bahwa gangguan cemasku telah bercabang membentuk serangan panik. Ditambah lagi, menurut psikiater, aku juga mengidap depresi.

Sudah lama aku berada dalam cengkeraman gangguan kecemasan. Di tahun 2017, aku mengalami strok ringan sebanyak dua kali yang berakar dari itu. Serangan pertama membuat kaki kananku sedikit payah untuk berjalan, sementara serangan kedua membuat separuh wajahku kaku. Sejak itu, aku baru percaya, bahwa kesehatan tubuh mencerminkan kesehatan mental, dan begitu pun sebaliknya. Andaikan dulu ada Kakek Namiya yang mau mendengarkan ceritaku dengan tulus, mungkin aku tak perlu sampai mengalami hal semacam itu.

Namun, berandai-andai pun tidak akan membawa kita ke mana-mana. Kita memang harus melalui kejadian sulit, orang yang kita sayangi memang harus pergi karena tak sefrekuensi lagi. Kita hanya terus bergerak mengikuti alur Pencipta.

Dulu, aku sering merasa Tuhan tak mengacuhkanku. Dia menelantarkanku dan pertanyaan-pertanyaanku. Sampai kemudian, aku sadar, Tuhan selalu mendengarku dengan sabar. Keping-keping jawaban-Nya kutemukan paling sering berceceran dalam buku yang kubaca. Sinkronisitas, begitu para ahli menamainya, yang dari beragam sumber lantas kuartikan sendiri sebagai potongan kejadian atau beberapa hal yang bertubrukan membentuk suatu kebetulan magis.

Menurut Albert Einstein, sinkronisitas adalah cara Tuhan agar tetap anonim. Yang artinya, Tuhan tak punya identitas. Dalam upaya memberi kita jawaban, Ia bisa saja meminjam mulut seorang penyiar radio, tulisan yang dirangkai penulis, atau lagu yang dilantunkan penyanyi. Betapa Tuhan selalu hadir di setiap remah keseharian kita.

Aku yang dulu belum tahu tentang sinkronisitas sering dibuat terheran-heran lantaran selalu mendapati adanya keterhubungan antara buku yang kubaca dengan masalah yang pernah, sedang, atau akan aku alami. Contohnya, saat Februari 2019, hanya berselang seminggu usai membaca novel See Jane Run karya Joy Fielding, aku menerima kabar bahwa kerabatku tiba-tiba mengalami amnesia disosiatif. Jenis amnesia yang disebabkan beban stres berlebih, atau karena adanya trauma sebelumnya. Lantas, di mana letak kebetulan magisnya? Jane, tokoh utama yang diciptakan Joy Fielding dalam See Jane Run, juga dikisahkan mengalami amnesia serupa. Itu hanyalah satu dari banyaknya sinkronisitas yang kerap kutemukan sewaktu membaca. Betapa Tuhan selalu bicara lewat banyak cara, dan untukku, itu seringnya lewat buku.

Buku-buku berkesan yang menemani selama pandemi

Itulah beberapa bacaan yang berhasil meninggalkan kesan yang dalam bagiku, juga menemani perjalanan selama setahun ini di masa pandemi. Perihal pandemi, banyak orang mengutukinya, tapi menurutku masa pandemi merupakan masa penyembuhan, dan koronavirus adalah hadiah dari Tuhan yang menyamar dalam bentuk bencana.

Pandemi yang memaksa manusia menjauhi kerumunan dan saling menjaga jarak ini, pada akhirnya membuat kita banyak menghabiskan waktu sendiri. Kita yang sebelumnya terus berlari menghindar, dipaksa melihat ke dalam diri, menghadapi sisi gelap yang tadinya disangkali. Seperti hewan yang mesti menjilati lukanya sendiri agar bisa sembuh, manusia pun harus mencicipi kegelapan mereka untuk dapat kembali seutuhnya mencintai diri.

Tidak mudah memang menerima dan mengakui sisi gelap itu, tapi dengan melakukannya, kita berdamai dengan diri. Orang yang telah berdamai dengan diri pada akhirnya akan melihat dunia dan kehidupan ini menjadi lebih bening. Segala hal menyakitkan yang terjadi di belakang mereka, hanya akan meninggalkan bekas luka yang indah.

Sebagai penutup, aku akan mengutip perkataan Keigo Higashino dalam Keajaiban Toko Kelontong Namiya: “Memang jalan yang saya tempuh sampai hari ini tidak selalu mulus, tapi fakta bahwa saya masih hidup membuat saya yakin bisa mengatasi setiap penderitaan yang menyertainya.”

 

 

 

 

 

 

[REVIEW] The Kingdom of Dreams and Madness (2013)

Minggu, 16 April 2017

Sepanjang menonton ini, saya dibuat terpana, sesekali terharu, sebelum dibuat lebih terpana lagi. 

Sempat menyayangkan, kenapa telat menonton "The Kingdom of Dreams and Madness" ini. Di sini, tak hanya dapat melihat bagaimana tiga sahabat (Hayao Miyazaki, Isao Takahata, dan Toshio Suzuki) ini saling menemukan dan mendorong satu sama lain untuk lebih baik, tapi juga menonton ini seakan-akan membuat impianmu dilipatgandakan. Terutama ketika melihat semangat dan kerja keras Miya-san yang luar biasa.


Amat terperanjat sewaktu Miya-san mengaku dirinya menderita manic-depressive. Bahkan, Miya-san berkata,"Aku harus meminum pil tidur. Bagaimana lagi aku bisa tertidur?" (Hal ini menambah panjang daftar orang-orang hebat yang menderita gangguan ini).

Lalu, berbicara tentang Takahata-san... Dulu saya pernah mengatakan bahwa saya mendapati ada cukup banyak kesamaan antara saya dan beliau. Dan setelah menonton ini, keyakinan saya akan hal itu naik semakin tinggi. 

Kebalikan dengan Miya-san yang disiplin dan pekerja keras, menurut Toshio, Takahata-san tidak pernah menyerahkan filmnya tepat waktu atau sesuai anggaran. Staf Ghibli lainnya sependapat kalau Takahata-san sangat buruk dengan penjadwalan. (Nah, ini salah satu kesamaan saya dan Takahata-san. Dulu, saya pernah ikut sebuah lomba (di bidang seni), dan pada saat waktunya sudah habis, saya belum selesai dengan karya saya. Alhasil, juri memberi tambahan waktu dan bilang,"Tenang. Lanjutkan saja. Saya mengerti, seniman seharusnya tidak bekerja dengan dibatasi waktu." Kata-kata juri itu masih terekam hingga sekarang. Karena hal itu begitu berkesan bagi saya)

Nah, kembali membahas Takahata-san--lantaran sifat beliau yang unik itu, Toshio sampai berkata, "Dalam usaha membuat film Takahata berhasil tercapai, aku membutuhkan seseorang yang bisa bersama dia 24 jam sehari." 

Bahkan Miya-san tak segan-segan mengatakan kalau Takahata-san memiliki gangguan kepribadian lantaran tak mengerti lagi tentang kenyentrikan sahabatnya yang satu itu. Miya-san juga bilang kalau sebenarnya Takahata-san berusaha untuk tidak menyelesaikan filmnya. 

Yah, tapi syukurlah, walaupun hampir semua orang sudah tidak yakin film garapan Takahata-san rampung, akhirnya pada November 2013, "The Tale of the Princess Kaguya" akhirnya tayang dan dikabarkan menjadi karya terakhirnya. Butuh waktu 14 tahun bagi beliau untuk membuat karya lagi setelah My Neighbors the Yamadas (1999).

Saya melihat betapa unik hubungan antara Miya-san dan Takahata-san. Keduanya bersahabat, memuja satu sama lain, namun bersaing dengan keunikan karyanya masing-masing. Sejujurnya, sangat tidak adil bila harus membandingkan karya keduanya. Sebab, karya mereka adalah gambaran kepribadian mereka sendiri. Orang-orang di sekeliling bahkan tak tahu siapa yang cahaya dan siapa yang bayangan di antara keduanya.

Miya-san selalu membuat karya tentang dunia yang penuh sihir, keindahan dan keajaiban, sementara Takahata cenderung mengajak kita merenung dan menutup karyanya dengan kesedihan yang getir.

Hal yang membuat saya tersenyum adalah fakta bahwa Miya-san menyebut Takahata paling tidak satu hari sekali.


Sayang sekali, di sini tak banyak menyorot Takahata. Hampir seluruhnya adalah tentang Hayao Miyazaki. Hal ini semakin memperjelas gambaran misterius seorang Isao Takahata di benak saya. Orang yang kabarnya seorang perenung sejati.

Lalu, saat obrolan bergulir membahas tentang masa depan Studio Ghibli, di situ saya benar-benar merasa sedih sebelum akhirnya terpesona dengan jawaban Miya-san tentang hal itu.

"Masa depannya sudah jelas," begitu kata Miya-san. "Aku sudah bisa melihatnya. Untuk apa khawatir. Itu tidak bisa dihindarkan. "Ghibli" hanyalah nama acak yang kudapatkan dari sebuah pesawat terbang. Itu hanyalah sebuah nama."

[REVIEW] Border (2014)


Drama Jepang bertajuk 'Border'ini dibintangi aktor kawakan Shun Oguri. Ada suatu pernyataan yang sering diulang dalam drama ini, seakan merupakan suatu pesan yang ingin ditanamkan dalam kepala para penontonnya; "Tidak akan ada cahaya tanpa kegelapan."


Jadi, di drama ini, Shun Oguri berperan sebagai seorang detektif polisi divisi kejahatan pembunuhan bernama Ishikawa Ango, yang menjunjung tinggi keadilan. Di awal, diperlihatkan bagaimana ia melaksanakan tugasnya dengan begitu baik. Sampai kemudian, ia mulai keluar 'batas'. Merasa frustasi tak dapat menemukan bukti-bukti untuk menangkap seorang pelaku pembunuhan, Ishikawa akhirnya mendorong tubuh tersangka dari sebuah gedung tinggi. 


Menonton ini, entah kenapa sedikit banyak mengingatkan saya akan salah satu novel karya Agatha Christie yang fenomenal--'And Then There Were None', atau dalam versi terjemahan Indonesia dikenal dengan 'Sepuluh Anak Negro'. Dalam novel tersebut, seorang pensiunan jaksa membunuh sembilan orang pelaku kejahatan yang tak pernah teraba oleh hukum. 

Kedua kisah tersebut (Border dan Sepuluh Anak Negro) ingin menunjukkan kepada kita bahwa seringkali dalam upaya kita menegakkan keadilan, tanpa sadar kita telah keluar batas. Dan, malah, perlahan-lahan, kita berubah menjadi monster menakutkan.

Itulah akibat jika manusia ingin bertindak seperti Tuhan. Mengadili sesama dengan tangannya sendiri. Menganggap benar tindakan mata dibalas mata dan gigi dibalas gigi.

Dunia yang begitu, sungguh mengerikan...
Bukankah hanya Tuhan yang berhak menghakimi, karena Dia-lah Mahaadil?

[REVIEW] Uncontrollably Fond (2016)


Setelah sempat mengalami kejenuhan panjang akan drama dari Negeri Ginseng, akhirnya saya menemukan satu yang berhasil mencuri hati dan menjadi favorit versi saya tahun 2016. Itu adalah "Uncontrollably Fond". 


Mungkin sebagian orang (yang mencintai drama Korea) akan mengernyitkan dahi, atau ada yang terang-terangan berkata, 'Kenapa suka drama yang itu? Itu kan rating-nya jelek.'


Errr, yah, jadi begini... Setelah saya amati, seringnya yang terjadi, apa yang menjadi kesukaan saya hampir selalu bertentangan dengan orang banyak. Tak terkecuali menyangkut drama Korea unggulan.

Kalau umumnya orang lebih tertarik dengan drama Korea yang rating-nya selangit, anehnya, daftar drama Korea favorit saya rata-rata punya rating yang biasa-biasa saja, bahkan beberapa benar-benar mencium bumi.

Jadi, sampai di sini, saya akhirnya bisa mengambil kesimpulan kalau selera saya anti mainstream

'Jadi orang yang punya selera anti mainstream itu enak, ya?'

Nggak juga. Seringnya, yang terjadi, sulit sekali menemukan orang yang punya kegemaran sama (entah itu tentang film, musik, bacaan, dll). 

Padahal, hal-hal yang saya sukai begitu sederhana. Yakni segala sesuatu yang mampu membekas lama di hati, dan bisa menghadirkan perasaan yang kompleks; senang, sedih, marah, juga kecewa. 

Sangat sederhana. Betul-betul sederhana. Sungguh.

[REVIEW] Cain and Abel/ Kain to Aberu (2016)


Drama ini, untuk ukuran rating memang tak bisa dibilang membanggakan. Namun, dari segi cerita, masih tetap layak jadi juara (ini menurut saya, ya).

Kendati ada beberapa bagian yang terasa agak kosong, tapi secara keseluruhan, cerita ini benar-benar berhasil memikat saya. 



Karakter para pemainnya pun dibangun dengan begitu kompleks. Layaknya manusia pada umumnya, punya bagian gelap-terang yang berimbang. Khususnya karakter Takada Yu yang diperankan oleh Yamada Ryosuke di sini, yang sukses membuat orang menaruh simpati, dan dalam waktu yang bersamaan juga membencinya setengah mati.



Kisah yang diambil dari Alkitab Perjanjian Lama ini kaya sekali akan nilai humanisme. Drama ini seakan sengaja untuk tak berfokus menyajikan kisah romantis antartokohnya semata, melainkan lebih menyorot jatuh bangun mereka dalam menghadapi masalah yang datang, serta bagaimana setiap harinya mereka belajar untuk lebih menjadi 'manusia'.


Meski cerita ini ditutup dengan akhir yang bahagia, akan tetapi tetap saja ada haru yang terselip di sana- sini, yang mau tak mau membuat saya menangis juga.

Terima kasih untuk drama ini, oleh karenanya saya jadi belajar banyak hal

Oh ya, ini ada 3 kata mutiara dalam drama 'Cain and Abel' yang sukses menyelinap begitu dalam di hati, serta mampu mengajak saya merenung sekian lama:

1) Menjadi sukses adalah penting, tetapi jika kau menjadi terlalu terobsesi dengan itu, kau akhirnya akan kehilangan hal-hal yang benar-benar penting.
2) Semakin kau bertujuan untuk kesempurnaan, maka kau mudah hancur dan lemah.
3) Tidak peduli apa yang terjadi, keluarga adalah keluarga.

[REVIEW] Your Lie in April / Shigatsu wa Kimi no Uso Live Action (2016)


Versi Live Action dari ‘Shigatsu wa Kimi no Uso’, atau yang juga dikenal dengan ‘Your Lie in April’ ini terbilang cukup sukses menurut saya. Para pemerannya cukup berhasil menghidupkan karakter yang dipercayakan kepada mereka masing-masing; Kousei, Kaori, Tsubaki, maupun Watari.


(Dari kiri ke kanan; Kousei, Tsubaki, Watari, dan Kaori)


Bahkan, usaha keras Yamazaki Kento dan Hirose Suzu untuk belajar piano dan biola selama enam bulan demi tampil maksimal memerankan tokoh Arima Kousei (pianis) dan Miyazono Kaori (violinis), agaknya berbuah manis. Kolaborasi musik keduanya sungguh mengundang decak kagum πŸ‘



Saya yang memang pada dasarnya sangat menyukai musik klasik, tentu saja begitu menikmati tiap detik yang bergulir dalam film ini. Sayang sekali, karena ini film, maka durasinya hanya sekitar dua jam saja. Tentu saja, dengan waktu sesingkat itu, banyak sekali adegan-adegan—bahkan beberapa karakter, yang terpaksa ditiadakan. Di antaranya adalah rival Arima Kousei dalam tiap kompetisi piano, seperti Takeshi Aiza dan Emi Igawa.

Dalam versi animenya sendiri yang memiliki total episode 22, para tokohnya digambarkan sebagai pelajar SMP kelas 2, sementara dalam film ini, mereka telah berusia 17 tahun (kelas 2 SMA). 

Kendati ada beberapa perubahan kecil di sana-sini, versi Live Action ‘Shigatsu wa Kimi no Uso’ ini masih terbilang cukup dekat dengan versi animenya, kok. Bahkan, saya masih tetap berkaca-kaca saat Kousei membaca surat dari Kaori di bagian akhir cerita 😫😭

Selain memanjakan telinga dengan alunan musik klasik yang liris, poin lebih film ini menurut saya terletak pada kisah cinta antara Kousei dan Kaori, yang mampu menunjukkan kedalaman dan ketulusan perasaan masing-masing meski tanpa adegan romantis-super-parah. 



Hmm, sekarang malah berandai-andai kalau ‘Shigatsu wa Kimi no Uso’ ini ada versi dramanya. Terlalu keren sih cerita ini

Oh ya, berikut adalah dialog antara Kousei kecil dan ibunya yang begitu saya sukai:

Kousei : Padahal ada lagu Kebahagiaan Cinta dan Kesedihan Cinta, tapi kenapa Ibu selalu memainkan lagu Kesedihan Cinta?
Ibu : Kamu tahu, Kousei? Itu agar kamu terbiasa dengan kesedihan.

Musik Hujan

Selasa, 06 September 2016
Di luar, hujan seperti musik
Tik, tik, tik...
Membasahi hati
Membasuh luka
Tik, tik, tik...
Iramanya pasti
Mengajak ingatan menari
Tentang kepedihan yang tak mau dibagi