Mereka bilang hidupku
sempurna. Tak ada kesulitan. Tak ada nestapa. Lantas, kalau begitu, apa alasan
lelaki yang mengaku dapat melihat masa lalu itu membasahi korneanya kala
menyelami sepasang manik mataku?
Itu tak lain karena ia
menemukan luka yang coba kusembunyikan. Luka yang kupikir telah kutinggalkan di
masa lalu, namun ternyata tidak.
Sejauh ini, aku tak mau
membagi luka itu kepada siapa pun. Hanya aku yang hidup bersama luka itu. Dan,
begitulah, luka itu sukses menggiringku dalam kehancuran dan tersedot dalam
lubang hitam yang tak berujung.
Aku berusaha semampuku. Membuat
orang-orang terdekat percaya, bahwa aku baik-baik saja. Melahirkan senyum
palsu. Membangun dinding di luar diriku yang seolah-olah tampak begitu kokoh.
Namun, sebenarnya, setiap detik di dalam diriku tengah mengalami kehancuran.
Mereka bilang, “Hidupmu enak.
Kau beruntung bisa mendapatkan itu.
Kau sungguh diberkati bisa begini.”
Sayangnya, satu hal yang mereka tak pernah tahu; hidupku jauh dari kata ‘beruntung’.
Semua yang kuperoleh, adalah murni
kerja kerasku.
Malam-malam yang kuhabiskan
untuk berjuang, lingkaran hitam di bawah mata yang kian melebar lantaran waktu
tidur yang kian singkat, buku-buku yang susah payah kudapati dan kubaca baris
per baris, orang-orang yang kutemui untuk bertanya ini dan itu demi menambah
ilmu. Dan, sekali lagi kau bilang dengan enteng bahwa apa yang kudapatkan adalah
keberuntunganku?
Di saat kau terbuai dalam
mimpi indah, aku masih terjaga di depan layar laptop, dan di saat kau telah
makan entah untuk ke berapa kali, aku bahkan tak punya waktu untuk sekadar
mencuci muka, apalagi memikirkan mengisi perut. Lantas, masihkah kau ingin
memejamkan mata atas segala jerih payahku yang jelas-jelas jauh lebih besar
dibandingkanmu?
Sekali lagi, aku tidak
seberuntung yang kau pikirkan.
Barangkali, kalau kuceritakan
apa yang dilihat oleh lelaki yang mengaku bisa melihat masa lalu itu, kau pasti
akan tercengang. Mungkin kau akan berujar bahwa hidupku tak ada beda dengan
telenovela. Begitu kelabu, begitu sendu. Tapi, mari kita lupakan perihal masa
lalu yang tak pernah ingin kubahas itu. Bagaimana kalau kita membahas tentang
topik lain, seperti uang, misalnya...
Ya, uang. Uang yang mungkin
kau dan kebanyakan orang agung-agungkan itu. Tapi, maaf saja... uang bukanlah
sesuatu yang menggerakkanku. Tentu saja dengan uang aku bisa membeli banyak
buku keren, pakaian model terbaru, atau barangkali seperangkat perlengkapan make up merk ternama? Namun, sayangnya,
dibandingkan uang, masih banyak hal lain yang jauh lebih membuatku tergerak.
Dan, hal teratas yang paling
memengaruhiku sejauh ini adalah ketulusan. Ya, ya, tentu saja uang tak akan
dapat membeli ketulusan, tapi dengan ketulusan manusia dapat menjamah hati
siapa pun, bukan?
Begitulah, aku suka, atau
lebih tepatnya terobsesi dengan konsep hubungan antar manusia. Sayangnya, aku
tak terlalu suka terlibat langsung dalam interaksi antar manusia. Oh, bukankah
aku membuatmu bingung sekarang? Maafkan aku. Aku pun seringkali bingung dengan
diriku sendiri.
Jadi, kapan-kapan, kalau kau
kembali ingin memamerkan uangmu, sebaiknya carilah seseorang yang lain selain
aku. Sebab, kalau kau membahas hal itu denganku, kau hanya akan membuang-buang
waktu.
Satu-satunya yang membuatku
tertarik adalah ketulusan dan kebaikan seseorang, bukan orang yang suka
mengagungkan dirinya sendiri dan meremehkan kerja keras dan usaha orang lain.
Kuharap kau mengingat itu.
0 komentar:
Posting Komentar