Inilah resital dengan musik bisu, di mana tiap sonata mengejawantah menjadi sunyi yang getas
Dengarkanlah...
Coba dengarkan dengan hati
Sebab, mendengarkan dengan telinga sudah terlampau biasa
Nada-nada ini lesak, sampai malam telanjang, sampai bulan mati
Dan sepanjang nada dimainkan, sepanjang itu pula para aku berganti peran
Aku yang humanis kemarin dengan pipi penuh jejak basah menangisi kaum papa
Mencoba menisiki luka mereka yang menganga dengan segala daya upaya
Lantas, tadi kaulihat aku yang humanis telah lesap, digantikan bramacorah—tanpa afeksi; tanpa hati
Barangkali, hanya tinggal hitungan detik lagi aku yang ini juga akan terganti
Entah oleh aku yang menyimpan sejuta cinta, atau malah aku yang lucah dan haus darah
Begitulah, ada sungguh banyak aku, bermain dalam aneka warna
Dan, kau tak akan mungkin memilah satu di antaranya
Aku yang lila, aku yang magenta, aku yang terakota, berputar memainkan peran
Begitu lekas putarannya, menyisakan satu warna; putih
“Putih yang serupa malaikat,” kata mereka bilang
Namun, sebetulnya tidak!
Dan, kini, kuyakin kau mengerti betul apa yang kumaksud
Nada bisu masih terus bermain
Dari Paganini, Mozart hingga Beethoven
Bukankah gubahan mereka lebih merdu bila telingamu mati?
0 komentar:
Posting Komentar