TELL ME GOODBYE # 5


Author : Wintervina
Genre  : Romance-Comedy
Type   : Multi-chapter
Cast    :


-Yuya Takaki as Draco Malfoy
-Kei Inoo as Hermione Granger
-Ryutaro Morimoto as Harry Potter
-Yuto Nakajima as Ronald Weasley
-Yuuri Chinen/Yuuri Nakajima as Ginny Weasley
-Hikaru Yaotome as Blaise Zabini
-Keito Okamoto as Theodore Nott
-Ryosuke Yamada/Ryoko Yamada as Pansy Parkinson
-Jhonny Kitagawa as Severus Snape
-Kouta Yabu as Argus Flich
-Daiki Arioka as Madam Pomfrey

---------------------------------------------------------------------------------



Chapter  5



Yeah, di sinilah Kei menghabiskan waktunya di saat semua teman-temannya sedang sibuk bergelut dengan berbagai mantra ‘Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam’ —perpustakaan Hogwarts. Well, seperti rencananya saat sarapan pagi tadi, ia mesti menemukan cara untuk membuat ramuan penangkal amortentia yang menurutnya tengah mengganggu kerja otaknya sehingga akal sehatnya saat ini menjadi tumpul. Yeah, mencintai seorang Yuya Takaki adalah sebuah aib bagi gadis manis dengan otak jenius se-Hogwarts itu.

Ia memandang bosan ke puluhan buku tebal di hadapannya yang telah sejak dua jam lalu menemaninya di ruang perpustakaan yang lengang itu. Namun gerakannya menjadi antusias membolak-balik buku di genggamannya itu kala mengingat seringai bodoh milik pangeran Slytherin—Yuya Takaki—tentu saja. Cih! Dia begitu membenci pemandangan itu. Pemandangan di saat pangeran Slytherin itu membagi gratis seringaian bodohnya yang membuat hampir seluruh gadis Hogwarts menjerit-jerit histeris—kecuali dirinya tentu saja. Oh ya?? Benarkah ia membenci hal itu? Namun jeritan hatinya yang lain mengatakan ia sangat menyukai seringaian khas pangeran darah murni itu. Sangat sangat menyukainya! Sesaat Kei menghentikan kegiatan menulisnya di atas perkamen cokelat di hadapannya. Ia bergidik ngeri membayangkan apa yang baru saja dipikirkannya. Well, tak ada yang lebih mengerikan dibandingkan menemukan fakta bahwa kau mencintai orang yang selama ini selalu kau anggap sebagai musuh bebuyutanmu!

Sementara di kelas ‘Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam’ Yuya berkali-kali melenguh bosan. Kurasa kalian sendiri tahu benar apa yang membuat pemuda jangkung yang berwajah tampan itu hari ini kelihatan tak bergairah—bahkan tidak fokus sama sekali saat mengikuti pelajaran. Hal tersebut tak lain karena gadis berambut menyerupai surai singa kebanggaan Gryffindor yang sejak tadi tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Menemukan kenyataan bahwa gadis yang sering dijuluki si ‘nona-tau-segala’ itu membolos—yang demi Merlin tak pernah dilakukannya seumur ia berada di Hogwarts—itu membuat Yuya diliputi tanda tanya. Ada hal apakah yang membuat gadis yang paling menomorsatukan pelajaran itu tiba-tiba absen hari ini? Keluh pemuda itu yang tentu saja dilakukannya dalam hatinya.

***



Cklek.


Pintu besi itu menjeblak terbuka dan memperlihatkan sesosok pemuda jangkung yang menatap tajam ke arah gadis yang masih sibuk mencoret—tepatnya menulis—sesuatu di perkamen miliknya. Menyadari gadis berambut ikal itu tak kunjung menghiraukan kedatangannya membuat pemuda itu menjadi sangat kesal.

“Ke mana saja kau sampai tak mengikuti pelajaran ‘Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam’ huh?” tanya pemuda itu menatap tajam ke sosok gadis yang masih tekun menulis sesuatu yang kelihatannya begitu penting—sampai-sampai ia mengabaikan keberadaan pemuda jangkung Slytherin itu yang saat ini telah duduk manis di sampingnya.

“Dan sejak kapan kau begitu peduli dengan segala apa yang kulakukan Tuan─Berdarah─Murni?” ujar Kei tanpa mengalihkan pandangannya dari perkamen yang ada di hadapannya saat ini.

“Hei! Dengar! Siapa yang mempedulikan keberadaan gadis jelek sepertimu? Errr, aku kan hanya sekedar basa-basi saja padamu!” ujar Yuya berusaha mencari kesibukan karena mata Kei sejak beberapa detik lalu terus mengawasinya dengan tatapan menyelidik.


“Oh ya? Aku tak tahu harus senang ataukah sedih mengetahui seorang Pangeran Slytherin ini sekarang sudah pandai berbasa-basi selain keahlian membagikan seringaian bodoh gratis kepada gadis-gadis yang tak kalah bodohnya itu,” ujar Kei dengan nada sarkastis diiringi tawanya yang amat renyah namun menusuk di telinga Yuya,”Oh, baiklah. Aku harus pergi sekarang. Maaf sekali Takaki karena aku tak punya waktu untuk sekedar meladeni segala basa-basimu yang membosankan itu.” Kei melenggang santai menuju pintu di depannya.

“Hei, kau mau ke mana lagi??! Bukannya sebentar lagi kita harus berpatroli Nona-Tahu-Segala??!” teriak Yuya dengan wajah kesal.

“Jangan sebut aku ‘Nona-Tahu-Segala’ jika aku sampai tak tahu jadwal patroliku, Mr. Takaki,” ujar Kei menggeram “Well, sampai jumpa nanti malam!”



BLAM.




Pintu besi itupun kembali tertutup. Sementara Yuya hanya diam terpaku di tempat duduknya. Sibuk memikirkan tingkah Kei yang menurutnya ‘sangat aneh’ akhir-akhir ini.

***


Kei dengan mata berbinar-binar melangkahkan kakinya menuju ruang asrama ketua murid. Di genggamannya kini terdapat tabung berukuran kecil kira-kira setelunjuk jarinya. Di dalam tabung itu berisi ramuan yang baru saja diraciknya sendiri secara diam-diam dengan menggunakan bahan-bahan di laboratorium  pribadi professor Jhonny Kitagawa yang tentu saja dilakukannya secara diam-diam dengan bantuan jubah gaib pinjaman dari Ryutaro yang semakin mempermulus aksinya. Kei tersenyum membayangkan sebentar lagi perasaan bodohnya pada Pangeran Bodoh Slytherin itu akan musnah sudah. Namun sisi lain dirinya merasa sangat sedih dan menginginkan perasaannya itu tidak berakhir begitu saja. Karena entah mengapa perasaan itu kian lama kian terasa indah. Kei menjadi bertanya-tanya dalam hatinya beginikah rasanya jatuh cinta? Rasanya begitu menyenangkan sekaligus mendebarkan. Aneh sekali.

Sesampai di ruang rekreasi asrama Ketua Murid, Kei segera menyihir secangkir capuccino panas dari udara hampa. Ia menyunggingkan senyum ketika memandang secangkir capuccino yang masih mengepulkan asap itu kini berada di hadapannya. Dengan cekatan ia menuangkan habis ramuan yang ada di genggamannya sejak tadi—ramuan penangkal amortentia. Setelah mengaduknya beberapa saat, Kei mencium sekitar jubahnya yang menurutnya sangat bau dan sedikit basah oleh keringatnya.

Well, tampaknya aku harus mandi terlebih dahulu,” pikirnya yang kemudian segera beranjak menuju kamar mandi.

Selang beberapa saat kemudian sesosok pemuda berperawakan tinggi memasuki ruang rekreasi asrama ketua murid. Sunyi senyap. Itulah kesan pertama yang didapatkannya saat  berjalan memasuki ruang itu. Tapi, errrrr—sepertinya ia salah. Ruang rekreasi itu tak sesepi yang semula dibayangkannya. Masih terdengar suara guyuran air sesekali waktu yang ia yakini berasal dari arah kamar mandi yang letaknya lumayan jauh dari tempatnya sekarang. Ia pun memutar kedua bola matanya bosan. Dan tak lama kemudian menghempaskan bokongnya begitu saja pada sofa empuk yang tersedia di ruang rekreasi tersebut. Sesekali pemuda itu menghela napas panjang. Tampaknya ia sangat kelelahan. Namun saat baru saja hendak memejamkan kedua matanya, ia mencium aroma yang sangat menggoda. Serta merta ia pun membuka kedua kelopak matanya lebar. Mencari sumber dari aroma harum yang berhasil membuat tidurnya terganggu. Tak lama kemudian pemuda tersebut tersenyum—atau menyeringai? Ah, entahlah. Bahkan ia sendiri tak pernah tahu apa bedanya tersenyum dan menyeringai itu. Menurutnya keduanya sama saja.

Kini tangannya dengan tanpa basa-basi meraih cangkir yang sedang menebarkan aroma kesukaannya—capuccino.



1 detik.




2 detik.



5 detik.



Dan tak perlu waktu lama baginya untuk menghabiskan secangkir capuccino hangat yang salah sendiri menggodanya tersebut.

***


Setelah selesai berganti baju Kei segera keluar dari kamarnya menuju ke ruang rekreaksi. Dan alangkah terkejutnya ia ketika melihat pemandangan di hadapannya. Kedua mata hitamnya membulat sempurna manakala melihat secangkir capuccino hangat yang tadi ditinggalkannya ketika ia mandi kini telah habis menyisakan cangkirnya saja. Dan kenyataan yang semakin membuat Kei menjadi semakin marah adalah karena sesosok mahluk menyebalkan yang menurutnya tak lain adalah titisan sang iblis tersebut tengah tertidur pulas di sofa yang ada di hadapannya. Tak perlu waktu lama bagi otak segenius Kei untuk menyadari bahwa penyebab hilangnya capuccinonya itu tak lain adalah Yuya Takaki penyebabnya! Ya! Siapa lagi tersangka lain yang lebih pantas selain pangeran iblis itu. Pikir Kei dengan geram.

“Hei!! Bangunlah Tuan Takaki! Ayo bangun! Sebelum aku mengutukmu dengan mantra mematikan!” teriak Kei yang seketika itu memecah keheningan yang sejak tadi menaungi asrama ketua murid.

Aneh. Pemuda yang dibangunkannya itu tak memberi respon yang berarti.

“Hei! Kau jangan berpura-pura mati, dengar?! Dasar pengecut!!” teriak Kei lagi namun kali ini tepat di kuping Yuya yang membuat pemuda tersebut akhirnya mau tidak mau membuka mata.

“Dada—ku—sa—kit. Uhuk...uhuk~” ujar Yuya kemudian sambil mencengkeram dadanya.

Melihat hal itu Kei pun memutar kedua bola matanya bosan.

“Hei, ternyata sekarang kau tak hanya pintar berbasa-basi tapi sepertinya—bersandiwara juga. CEPAT BANGUN!! ATAU AKU AKAN MENGIRIMKAN KUTUKAN RICTUSEMPRA PADAMU!!” teriak Kei kali ini dengan sangat lantang. Wajahnya kini berubah merah demi menahan emosi yang membakarnya.

Namun Kei merasa bingung karena Yuya tak juga kunjung bangun. Malahan aktingnya semakin menjadi saja. Memegangi dadanya dengan wajah yang sepertinya menahan sakit. Hebat! Pikir Kei. Aktingnya sangat menakjubkan. Namun sayangnya akting sebagus itu tak akan mempan untuk mengelabuinya.  Errrr, apakah Rictusempra tak cukup menakutkan untuk siluman iblis itu? Ujar Kei dalam hati.

“UHUK! UHUK! UHUK! UHUK!!” Yuya terus batuk-batuk tanpa henti. Beberapa butir keringat tampak menghiasi wajahnya yang nampak memucat itu.

Melihat hal itu, Kei baru berpikir sepertinya dari tadi Yuya tidak sedang berakting. Ia pun berjalan ke arah Yuya dengan raut wajah cemas.

“Takaki, kau kenapa?” tanyanya yang kini telah berada di samping sofa tempat Yuya berbaring.

“I—noo...” Yuya mencoba berbicara namun dadanya tersebut semakin terasa menyempit.

“Iya, Takaki. Katakan padaku kau kenapa? Apa yang sudah terjadi padamu?” ujar Kei yang kini menggenggam erat tangan kanan Yuya yang saat itu terasa sangat dingin.

“HHHHHHHHHH~” Yuya mencengkeram dadanya dengan kuat sebelum akhirnya tak sadarkan diri.

***


Sudah tiga hari ini pemuda Slytherin dengan seringai khasnya itu terbaring di rumah sakit. Dan kini seperti hari-hari sebelumnya, tubuhnya kembali diperiksa oleh Madam Arioka. Sesekali matanya memandang ke luar jendela rumah sakit. Berusaha mencari keberadaan partner kerjanya sebagai Ketua Murid. Well, siapa lagi kalau bukan Kei Inoo. Entah kenapa sehari saja tak menjahili gadis berambut surai singa itu membuat dia gila setengah mati. What??! Apa yang baru saja dipikirkannya? Yuya menggeleng-gelengkan kepalanya spontan.

“Kau kenapa menggeleng-gelengkan kepalamu seperti itu Mr.Takaki?” ujar Madam Arioka dengan tatapan heran.

“Oh, ti—tidak. Aku hanya merasa leherku sedikit—encok,” ujar Yuya yang tentu saja berbohong.

Well, beistirahatlah lagi. Kulihat keadaanmu hari ini sudah lebih membaik,” ujar perempuan bertubuh gempal itu yang kemudian berlalu pergi meninggalkan ruang tempat di mana Yuya dirawat.


Cklek.


Terlihat sesosok gadis— yang tidak bisa dibilang anggun —memasuki ruang tempat di mana Yuya menghabiskan harinya selama tiga hari belakangan ini.

Gadis itu menatap Yuya dengan seksama. Pandangannya menyusuri setiap detail tubuh pemuda jangkung yang tengah berbaring dengan tatapan bosan—atau tepatnya pura-pura terlihat bosan—melihatnya.

“Hei, berhentilah menatapku dengan pandangan seolah-olah aku ini makanan lezat untukmu!” teriak pemuda itu yang kini merasa jengah dengan tatapan Kei yang membuatnya salah tingkah.

“Bagaimana keadaanmu?” gadis itu mengabaikan teriakan tak penting yang baru saja didapatkannya dari pemuda di hadapannya sesaat lalu. Ia pun segera menyihir sebuah tempat duduk empuk dari udara hampa. Dan kini dengan tatapan yang tak terlepas dari Yuya, ia pun menduduki tempat duduk yang berada di samping ranjang Yuya.

“Kurasa kau punya sepasang mata yang bisa kau gunakan untuk melihatnya sendiri, bukan?”

“Yeah, kau benar. Menurut yang kulihat, kau sudah terlihat sangat membaik. Kurasa besok atau lusa kau sudah dibolehkan pulang oleh Madam Arioka.”

“Yeah! Terima kasih telah hampir membunuhku!”

Seketika kedua alis Kei bertaut.

“Apa yang kau maksud dengan ‘hampir membunuhmu’ huh?!”

“Pikir saja sendiri. Kupikir otak genius yang selalu kau banggakan itu masih dapat bekerja dengan baik bukan?”

Kei menggeram demi mendengar apa yang pemuda jangkung di hadapannya itu katakan.

“Hei! Dengar Yuya Takaki!! Siapa yang ‘hampir membunuhmu’ huh?! Bukannya kau sendiri yang dengan penuh sopan santun mengambil minuman milik orang lain dan menghabiskannya?! Benar-benar sangat sopan sekali!”

Mendengar itu kini giliran Yuya yang menjadi sangat kesal.

“Siapa suruh meletakkan capuccino begitu saja di meja di saat aku sedang kelelahan dan kehausan? Tentu saja itu sangat menggodaku untuk mencicipinya.” Yuya membela diri.

“Bagaimanapun tetap saja kau tak berhak menyentuh apalagi mencicipi sampai HABIS capuccino yang jelas-jelas BUKAN milikmu!”

“Kenapa tidak?! Salah sendiri kau meninggalkannya begitu saja.”

“Kau benar-benar menyebalkan!”

“Kau lebih!” ujar Yuya tak mau kalah.

Sesaat keadaan di ruangan itu berubah hening.

“Seharusnya kau bersyukur padaku karena capuccino-mu aku habiskan. Mungkin jika aku tidak melakukan itu, yang terbaring di ranjang rumah sakit ini sekarang adalah kau—Inoo.”

Mendengar itu Kei terdiam. Ia kaget dan tak menyangka bahwa Yuya akan berkata demikian.

“Maaf itu semua salahku,” ujar gadis Gryffindor itu yang kini menjadi sedikit melunak.

Mendengar itu Yuya menyeringai licik.

“Kudengar dari Madam Arioka kau sebenarnya ingin meracik ramuan penangkal amortentia, bukan begitu kan? Namun sayangnya seorang Kei Inoo yang terkenal kegeniusannya se-Hogwarts itu salah meracik ramuan penangkal amortentia yang sangat sederhana itu. Sungguh memalukan! Ckckck~” ujar Yuya sambil menggeleng-gelengkan kepala seolah-olah tak percaya.

Melihat itu tangan gadis berambut ikal lebat itu terkepal kuat. Seketika itu juga wajahnya berubah merah menahan amarah.

“Oh ya..., ramuan penangkal amortentia ya? Errr, memangnya siapa yang sangat bodoh atau bahkan abnormal memberi ramuan amortentia itu padamu yang—yah seperti ini?” ujar Yuya menatap Kei dengan pandangan merendahkan.

Baru saja akan menyerang Yuya dengan segala umpatan kasarnya, tiba-tiba saja pintu besi di hadapan mereka menjeblak terbuka menampakkan sesosok lelaki tua berjubah hitam kelam yang paling disegani oleh seluruh murid Hogwarts—Professor Jhonny Kitagawa.

“Ada apa, Prof?” ujar Yuya yang tampaknya dapat membaca wajah cemas yang tertanam di wajah galak Jhonny.

“Mereka menyerang kita—para Pelahap Maut itu! Hogwarts sekarang dalam bahaya.”

Mendengar hal itu, baik Kei maupun Yuya sama-sama terkejut. Namun kemudian tak perlu waktu lama, keduanya telah bersiap mengikuti langkah dingin Jhonny. Menuju Aula Besar—ah, tepatnya menuju arena pertarungan. Yuya yang walau tampak masih sedikit pucat itu tentu saja tak bisa tinggal diam saja. Mengabaikan segala rasa sakitnya, ia mencengkeram tongkat sihirnya erat-erat. Ini adalah saat di mana ia harus mempertahankan Hogwarts. Pikirnya.

***


Aula Besar tersebut kini berubah fungsi menjadi arena pertarungan. Masing-masing orang terlihat saling melemparkan kutukan. Dan berbagai cahaya berwarna-warni keluar dari ujung-ujung tongkat dengan amat sangat cepat. Dan saat ini Kei tengah dikerubungi oleh tiga orang Pelahap Maut. Mereka semua menggunakan topeng yang menyamarkan wajah mereka.

“Petriticus totalus!” ujar salah seorang Pelahap Maut tersebut. Seketika cahaya berwarna hijau keluar dari ujung tongkatnya menuju ke arah Kei berdiri. Namun dengan gerakan cepat Kei pun merapalkan mantrany, ”Protego!” Dan seketika cahaya hijau dan merah bertemu dan saling meledak menjadi serpihan-serpihan api kecil.

“Expelliarmus!” ujar Kei lagi saat seorang Pelahap Maut hendak menyerangnya,”Stupefy!” lanjutnya lagi.



BRUK!



Seorang Pelahap Maut jatuh tak sadarkan diri saat kutukan Kei tepat mengenai dadanya. Melihat hal itu, teman Pelahap Maut tersebut menjadi marah dan tanpa sepengetahuan Kei ia dengan sigap merapalkan salah satu kutukan tak termaafkan. Melihat hal itu Yuya yang saat itu sedang bertarung dengan beberapa Pelahap Maut serta merta berlari mendekat ke arah Kei.

“Crucio!”

Seketika cahaya berwarna merah yang keluar dari ujung tongkat salah satu Pelahap Maut mengenai seorang pemuda yang berlari secara tiba-tiba dari arah belakang mereka.


BRUK!



Yuya terjatuh sambil mengerang kesakitan. Melihat hal itu Kei segera merapalkan kutukan tak termaafkan yang dulunya menyebabkan kematian ayah dan ibu Ryutaro—sahabat baiknya itu.

“Avada kedavra!” ujarnya pada Pelahap Maut di hadapannya. Seketika itu juga dua pelahap maut yang posisinya berdekatan saat itu serta merta jatuh dan kehilangan nyawanya tentu saja—mengingat itu adalah kutukan yang paling mengerikan yang pernah ada. Kei terpaksa melakukan itu. Mengingat Pelahap Maut itu pantas mendapatkannya karena telah melukai Yuya Takaki!

“Takaki... bertahanlah! Kumohon!” Kei menghampiri lelaki bertubuh jangkung yang kini tengah menahan rasa sakit yang luar biasa.

“Inoo..., jangan menangis seperti ini.” Pemuda itu di tengah kesakitannya masih mencoba mengusap air mata Kei yang tanpa diperintahkan olehnya mengalir begitu saja dari sudut matanya.

“Takaki! Bertahanlah! Bertahanlah Takaki! Kau tidak boleh lemah seperti ini~” Kei mengguncang-guncangkan tubuh lelaki jangkung di hadapannya itu sambil diiringi isak tangis yang membanjiri kedua pipi mulusnya. Namun mata Yuya malah semakin menutup. Seakan-akan ada perekat yang membuat kelopak matanya sulit sekali untuk membuka kembali. Namun sayup-sayup suara Kei yang menangis masih bisa didengar olehnya.

“Takaki bangun! Bangunlah Takaki! Aku sangat menyukaimu! Aku sangat sangat menyukaimu, Pangeran Slytherin! Ayo, bangunlah!” Kei masih mengguncang-guncangkan tubuh yang tak berdaya di hadapannya itu. Seketika dipandanginya wajah Yuya yang pucat tersebut. Ada sebuah senyum tergores di sana. Yeah, itu benar-benar sebuah senyum. Kali ini Kei merasa tak salah lihat. Yuya ternyata bisa tersenyum—selain menyeringai angkuh seperti yang biasa dilakukannya.

Sementara Yuya yang mendengar segala ungkapan perasaan Kei padanya mengukir senyum damai di bibir tipisnya yang biasa ia gunakan untuk menghina dan mengejek Kei hanya untuk mencari perhatian gadis itu. Ya, Yuya bahkan sudah lebih dulu menyadari  perasaannya terhadap gadis terpintar se-Hogwarts itu.

Kei segera memeluk Yuya yang terbaring lemah di hadapannya. Kedua mata pemuda jangkung itu masih tertutup rapat. Padahal Kei ingin sekali menatap mata dingin milik Yuya yang biasanya digunakan untuk memandangnya.

“Takaki bangunlah... Sekarang aku akui aku—sangat mencintaimu... Bangunlah Takaki!” pelukan Kei semakin erat pada pemuda jangkung itu.

Begini saja sudah cukup untuk Yuya Takaki. Mengetahui gadis yang kini tengah memeluknya memiliki perasaan yang sama padanya membuatnya tenang meninggalkan dunia ini.

‘Itu adalah pernyataan selamat tinggal yang sangat kuharapkan, Inoo Kei. Tetaplah hidup dan mencintaiku’ ujar Yuya dalam hatinya sebelum akhirnya tubuhnya meregang dan napasnya tiba-tiba saja berhenti.

-Owari-
Bagikan Yuk :




Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar