Kado Terindah



Dengan kesal, kumatikan ponsel yang dari tadi terus bergetar. Tanpa melihatnya pun, aku sudah tahu siapa yang menelepon. Ibu. Benar-benar menyebalkan. 

Aku benci dengan Ibu, selalu saja menganggapku sebagai'anak kecil'-nya. Padahal, aku kan sudah besar. Sudah kuliah. Benar-benar berlebihan.

Tiba-tiba, aku teringat perkataan Ibu tadi pagi di saat aku hendak berangkat ke kampus, "Karin, nanti kalau bisa pulangnya lebih awal, ya.” 

“Bu, bisakah Ibu tak lagi menganggap Karin anak kecil? Karin sudah besar, Bu. Sudah bisa jaga diri," sahutku kesal sambil melengos. "Dan, nanti pun Karin tidak bisa janji untuk pulang cepat. Ada begitu banyak kegiatan di kampus," kataku lagi.

“Maafkan Ibu ya, Karin. Ibu tidak bermaksud membuatmu kesal. Kadang Ibu memang terlalu khawatir lantaran begitu menyayangimu," kata Ibu dengan wajah sedih. "Sebenarnya... Ibu rindu ingin makan malam bersamamu. Sudah terlalu lama kita tidak makan bersama, bukan? Tapi, kalau kau ada kesibukan dikampus, tentu Ibu dapat memakluminya," lanjutnya sambil mengulas segaris senyum padaku. Akan tetapi, bukannya membalas senyuman Ibu, aku malah bergegas mengenakan sepatu dan meninggalkan rumah. 

Begitulah Ibu. Selalu saja memberikan perhatian yang berlebihan padaku. Hal tersebut benar-benar membuatku risih. Tiap aku pulang dari kampus, ia selalu menyambut kedatanganku dengan senyumannya. Mengajakku makan dan berbincang-bincang.

Namun, belakangan ini, saat tiba di rumah aku tak menginginkan apapun selain beristirahat di kamar. Aktivitas di kampus yang padat membuatku benar-benar kelelahan dan tak pernah bisa memenuhi ajakan Ibu untuk sekadar makan malam atau pun berbincang-bincang sejenak dengannya. 

***

Kembali Ibu mengingatkanku  untuk pulang ke rumah lebih cepat. Sebab, ini adalah hari ulang tahunku. Dan, ia berencana hendak membuatkan aneka masakan kesukaanku. Itu sudah menjadi kebiasaannya. Setiap tahun, Ibu akan mengadakan perayaan kecil di rumah ketika ulang tahunku. Dan kali ini kesabaranku habis. Itu karena ponselku kembali bergetar untuk yang ke sekian kali hari ini. Sudah bisa ditebak. Pasti telepon dari Ibu. 

“Halo, apa lagi sih, Bu?!” ucapku sedikit berteriak melepas rasa kesal yang tertahan sejak tadi. 

“Halo, Kak Karin, ini Liana. Ibu Kak...” kata-kata Liana terhenti dan mulai terdengar isak tangisnya. 

Adikku kenapa? Tak biasanya bocah tomboi itu menangis. 

“Ada apa, Liana?” tanyaku yang mulai tak sabar dan diliputi cemas. 

“IIbu meninggal, Kak..." Tangis Liana kian menjadi usai menyelesaikan kalimatnya.

Seketika aku menjadi tuli. Aku tak mendengar lagi apa yang Liana katakan selanjutnya. Semua suara di dunia mendadak mati.

Tubuhku lunglai. Ponsel yang mulanya kugenggam pun terlepas begitu saja. 

Tidak mungkin.

Ibu tidak mungkin pergi meninggalkanku sekarang, kan? 

Karena ini hari ulang tahunku...

***

Kini aku tak bisa lagi untuk membendung air mata. Kupeluk erat wanita yang terbujur kaku itu.  Wanita yang telah melahirkan dan membesarkanku dengan sabar. Ternyata,  aku menyayanginya, lebih banyak dari yang bisa kukira selama ini. 

“Ibu,  jangan pergi, Bu. Jangan pergi... Kita belum sempat makan malam bersama. Karin belum mencicipi blackforest kesukaan Karin tahun ini. Kenapa Ibu pergi?” 

Aku menangis bagai kesurupan. Suaraku parau dan mataku bengkak. Aku sudah tak peduli akan apa pun. Yang kupedulikan saat ini hanya Ibu; wanita penyabar yang kini terbujur kaku di sampingku.  

“Ibu, lihatlah... Karin sudah penuhi janji untuk pulang lebih awal, bukan? Tapi, kenapa malah seperti ini? Bukan ini yang Karin mau, Bu...” 

Kenapa? Padahal aku belum mendapat ucapan selamat ulang tahun dari Ibu. Aku pun belum mencicipi blackforest lezat buatannya. Aku belum mendapatkan semua itu. Semua yang selalu Ibu berikan di kala ulang tahunku.

Oh, Tuhan. Aku benar-benar menyesal.

Sungguh, aku rela jadi 'anak kecil' Ibu selamanya, asalkan ia tetap selalu berada di sisiku. Sayangnya, semua telah terlambat...


Setiap hari, Ibu selalu mengatakan bahwa ia menyayangiku. Namun, sampai ia pergi hari ini, tak sekali pun aku menyampaikan rasa sayangku padanya.

Maafkan aku, Bu. Aku sungguh menyedihkan dan hanya mengecewakanmu, bukan?


Jadi, yang kudengar, Ibu tertabrak mobil ketika hendak menyeberang jalan sepulang dari berbelanja di supermarket. Tadinya ia membeli banyak barang untuk merayakan ulang tahunku.


Begitulah. Ibu yang kukasihi mesti pergi di hari lahirku. Namun, akan kudoakan Ibu selalu, agar ia bahagia di rumahnya yang baru.

"Bu, Karin sayang Ibu..." ucapku lirih di samping mayatnya.

Terkadang kita baru tersadar akan pentingnya seseorang ketika orang itu telah pergi meninggalkan kita. Dan, semakin beranjak dewasa, kebanyakan kita mulai menjauh dari orangtua. Kita cenderung mengabaikan mereka. Namun, kendati begitu, cinta kasih mereka tak pernah berakhir untuk anaknya. 

                             Sekian








Bagikan Yuk :




Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar