Hitam Tak Selalu Kelam


Aku sangat menikmati saat-saat seperti sekarang. Bercanda dan berbagi keluh kesah bersama keempat teman dekatku di belakang sekolah ketika jam istirahat. Menikmati berbagai bunga yang mulai bermekaran di awal September. Sesekali, kami melihat kupu-kupu berterbangan memamerkan sayap indahnya di sekitar bunga-bunga mawar, anggrek dan melati.
Sejak tadi aku hanya duduk terdiam menatap mega yang berarak. Menaikkan kedua sudut bibir, seakan membalas sepotong senyum yang terukir indah pada mega yang putih lembut. Sesaat kurasakan angin sejuk membelai pelan kulitku dan menyusup masuk melalui pori-pori. Membuatku tersadar dari lamunan panjang.

Kutatap keempat sahabatku yang masih asyik berbincang-bincang tanpa menyadari kebungkamanku. Sesekali, mereka tertawa. Akan tetapi tak jarang pula mereka begitu tegang dan serius. Keempat sahabatku tersebut adalah Errie, Alya, Winny, dan Indah. Errie adalah sosok cewek yang lumayan tomboi. Ia begitu benci jika salah seorang di antara kami mendiskusikan perihal 'cinta' dan 'cowok' padanya.

Bertolakbelakang dengan Errie, Alya amat senang sekali apabila membahas tentang sederet cowok-cowok incarannya, terutama padaku. Alasannya, aku merupakan pendengar yang baik. Tak tahukah ia bahwa di dalam hati aku selalu meratapi  nasibku yang malang kala ia kembali mengisahkan cerita yang sama  untuk ke seribu kali?

Kalau Winny… hmm, dia tipe teman yang lumayan menyenangkan dan penuh humor. Dan yang terakhir adalah Indah. Seperti namanya, ia merupakan gadis yang begitu indah dengan segudang prestasi, baik di bidang akademik maupun non akademik.

“Bella, coba lihat!” ujar Winny mengagetkanku. Aku pun segera memandang ke arah yang ditunjukkan Winny.

Rupanya Della dan pacar barunya, Radit. Mereka berada pada jarak beberapa meter dari kami saat ini.

“Mesra sekali ya," celetuk Alya yang tak mengalihkan pandangan sedikit pun pada Della dan pasangan barunya itu.

Entah kenapa hatiku begitu sakit setiap kali menatap Della. Napasku pun mendadak sesak. Dendam dan benci telah meracuni hatiku.

Della adalah gadis yang begitu cantik, berambut ikal sepinggang, berbulu mata lentik, berhidung bangir, tinggi ramping, dan juga cerdas. Benar-benar tipikal gadis impian semua cowok! Sehingga aku harus tegar menerima kenyataan bahwa Ryo akhirnya menjadi pacarnya. Sejak saat itulah, kebencianku pada Della resmi dimulai.

Ryo adalah teman sekelasku yang begitu aku sukai. Namun, tampaknya cintaku tak berbalas. Ryo lebih memilih Della dibandingkan aku, gadis berpenampilan apa adanya tanpa sesuatu yang istimewa. Akan tetapi, sayangnya pilihan Ryo untuk berpacaran dengan Della sangat tidak tepat. Sebab Della akhirnya mencampakkan Ryo setelah hanya sekitar dua minggu berpacaran. Dan kini Della berpacaran dengan Radit, cowok yang belum lama ini pindah ke sekolahku. 

Aku benar-benar kesal dan marah pada Della. Tak seharusnya dia mempermainkan lelaki dengan kecantikan yang ia miliki. Benar-benar keterlaluan! 

Ryo seharusnya lega, sebab kini aku tak perlu mengejar-ngejar cintanya lagi, walaupun untuk sementara ini ia berstatus sebagai jomblo. Sekarang aku telah memiliki pacar. Namanya Kevin. Pemain basket andalan sekolah kami. Aku tak pernah mengerti kenapa Kevin bisa menyukai gadis tak menarik sepertiku. Barangkali matanya telah rabun saat ia memintaku untuk menjadi pacarnya.

Aku tahu tak terhitung banyaknya para pengagum Kevin yang menangis saat mengetahui aku dan Kevin berpacaran. Bahkan, mereka tak pernah berhenti membicarakan kebodohan Kevin yang berani memacari gadis tak menarik sepertiku.

***


Kini, di akhir Septemper yang mendung, Indah mengunjungiku. Wajahnya kelihatan sendu. Tak pernah sebelumnya kulihat ia semurung ini.

“Aku benci Ryan, Bel. Benci sekali. Dia begitu cuek!  Benar-benar pangeran berhati batu! Cewek mana yang tidak akan sakit hati saat mendapati kenyataan bahwa sang pacar tidak mengingat hari ulang tahunnya sama sekali?!” keluh Indah padaku. Kulihat butiran bening mulai mengalir melewati pipi mulusnya.

Aku hanya bisa terdiam. Tak tahu harus berkata apa untuk menghibur sahabatku ini. Namun, setelah puas menangis, Indah menatapku tajam. Tatapannya sungguh membuatku merasa tak nyaman. Aku berdebar menunggu sesuatu yang akan diucapkannya. Akhirnya, Indah tersenyum walau cuma berupa lengkungan patah. Namun itu sudah cukup melegakanku.

“Bel, aku punya ide cemerlang untuk kebaikan kita.”

“Untuk kebaikan kita?”

“Ya," ucap Indah dengan senyum yang kian lebar.

Aku semakin tak mengerti. Namun, aku berusaha tetap sabar menunggu penjelasan Indah lebih lanjut tentang ide cemerlangnya itu.

“Bagaimana kalau kita bertukar pasangan?”

Ide cemerlang Indah cukup membuat napasku berhenti untuk sesaat. “Maksudmu?”

“Hm, maksudku, bagaimana kalau aku berpacaran dengan Kevin dan kau berpacaran dengan Ryan? Karena selama ini kita sama-sama sering mengeluhkan pacar kita masing-masing. Kau mengeluhkan Kevin yang terlalu perhatian denganmu sehingga membuatmu risih, sedangkan aku selalu mengeluhkan Ryan yang jarang peduli bahkan cenderung cuek denganku,” tutur Indah menjelaskan sambil tak berhenti menatapku. “Kurasa, ini adalah ide yang tepat untuk kita! Karena aku senang diperhatikan dan kau lebih menyukai cowok yang cuek, kan?” lanjut Indah.

Aku hanya diam tanpa berani menatap mata Indah. Kugigit bibirku kuat-kuat. Sulit bagiku untuk menolak ide cemerlang Indah itu. Sebab, Indah adalah sahabat dekatku. Kedekatanku dengannya melampaui kedekatanku dengan Errie, Winny, maupun Alya. Walaupun kedengarannya cukup sulit, namun aku akhirnya merelakan Kevin demi Indah, sahabatku.

***

Sabtu siang, sepulang sekolah, aku mengajak Kevin untuk bertemu di lapangan basket. Saat itu cuaca agak mendung. Tampaknya akan hujan sebentar lagi. Kevin berlari kecil ke arahku. Wajahnya begitu ceria, mengalahkan mendung yang semakin kelam.

“Sepertinya ada yang penting ya, Bel? Tidak biasanya kau mengajakku bertemu seperti sekarang...”

“Vin…,” panggilku tanpa berani menatapnya.

“Ya?" sahutnya.

“Aku ingin kita putus..." ujarku diiringi meluncurnya butiran air mata.

“Putus, Bel?! Alasannya?”

Aku menggigit bibir. Seketika ada kabut di wajah Kevin yang semula begitu ceria.

“Kita tidak cocok. Lagipula, sahabatku, Indah, amat menyukaimu. Aku lebih bahagia melihat kalian bersama. Sebab, kalian begitu serasi. Daripada melihatmu terus bersamaku, hanya akan merepotkan kupingmu mendengar cemoohan orang-orang...”

“Tapi Bel, aku tidak suka dengan Indah. Aku menyukaimu! Tidak peduli orang mau bilang apa. Aku akan tetap menyukaimu.”

“Vin, kalau kau benar-benar menyukaiku, pasti kau akan melakukan segala sesuatu yang aku minta, kan? Dan sekarang, aku hanya minta padamu untuk menjadi pacar Indah.”

“Tapi…,”

“Ah, sudahlah, Vin! Ternyata kau tidak serius menyukaiku. Makanya kau tidak mau mengabulkan permintaan aku, ya, kan?”

Kevin terdiam. Langit semakin mendung. Dan tetesan hujan mulai terasa membasahiku.

“Baiklah. Aku pulang dulu, Vin. Terima kasih untuk semuanya...”

Maka, aku berlalu meninggalkan Kevin seorang diri di lapangan basket.Dalam hati, aku berharap Kevin akan berteriak memanggil namaku, berlari mengejarku, dan menyuruhku untuk tidak meninggalkannya. Namun, harapanku itu sayangnya tidak menjadi kenyataan.

***


Sejak pertemuanku dengan Kevin di lapangan basket, aku kini sering mendapati Kevin dan Indah berjalan bersama. Mereka kelihatan begitu akrab. Dan aku tak tahu apa yang telah Indah katakan pada Ryan, sehingga dua hari yang lalu Ryan memintaku untuk menjadi pacarnya. Kini, tampaknya ide Indah telah berjalan dengan sukses! 

Tak terasa, dua bulan berlalu begitu cepat. Hubunganku dan Ryan berjalan dengan baik. Kecuekan Ryan tak membuatku kehilangan nyawa sebagaimana Indah, karena pada dasarnya aku memang menyukai cowok yang cuek.

Menurut informasi yang kudapat dari Alya, Indah dan Kevin telah resmi berpacaran sebulan yang lalu. Aku tak tahu harus senang atau sedih mendengar kabar itu. Dan sejak berpacaran dengan mantan pacarku, Indah selalu menghindariku. Kenyataan ini sungguh menyakitkan.

Aku seperti terserang penyakit aneh setiap kali melihat Indah dan Kevin berjalan bersama. Aku tak cukup kuat mendengar sanjungan yang terlontar dari mulut orang-orang tentang betapa serasinya Indah dan Kevin. Mereka sama-sama keren, pintar, dan populer...

Della melirikku tiap kali aku terpaku menatap Indah dan Kevin yang tengah berjalan bersama. Kemudian dia akan memberikan  sebuah senyum penuh ejekan padaku. Aku benci saat Della merayakan kesedihanku dan menghadiahkan aku senyuman penuh hinaan. Aku benci!

Aku benci segala sesuatu menyangkut Della; Si Nenek Sihir. Julukan baru yang kurasa tepat ia dapatkan, karena ia bisa seenaknya menyihir cowok-cowok menjadi seperti apa yang ia mau.

Kenyataan bahwa aku memiliki nama yang hampir sama dengannya semakin mempertebal kebencianku. BELLA dan DELLA. Namun, selain dari sedikit kesamaan nama tersebut, kami merupakan dua pribadi yang sangat bertolak belakang. Kami ibarat langit dan bumi yang tak akan pernah menyatu sampai kapan pun!

***


Aku terdiam mendengar penuturan Winny dan Alya tentang hubungan antara Indah dan Kevin. Menurut mereka, Indah dan Kevin saling menyayangi, dan mereka melarangku untuk mengganggu hubungan antara pangeran dan putri sekolah itu. Namun, aku ingin Kevin kembali ke sisiku. Baru kusadari ternyata aku teramat menyayangi Kevin, melebihi rasa sayangku terhadap Ryo yang merupakan cinta pertamaku.

“Bel, aku tidak mungkin jadi pacarmu lagi. Karena sekarang,aku benar-benar menyukai Indah. Dan perlu kau ketahui, rasa sayangku padanya melebihi rasa sayangku padamu dulu," ucap Kevin siang itu, selepas pulang sekolah.

Dadaku nyeri tiap kali ingat kata-kata itu. Mungkin aku memang harus berbahagia menjadi pacar Ryan sekarang. Namun, beberapa hari ini aku tak menerima kabar dari Ryan. Tak seperti biasa. Ia selalu mengirim SMS padaku minimal tiga kali sehari. Ya, begitulah Ryan. Walaupun terkesan cuek, ia tak pernah lupa mengirimiku SMS setiap harinya. 

Menurut Ryan, akulah pacar terbaik yang pernah ia miliki, yang selalu berusaha untuk mengerti dia. Untuk itulah ia selalu perhatian padaku.

Kekhawatiranku pada Ryan akhirnya terjawab. Rabu siang, Errie meneleponku. Ia mengatakan bahwa Ryan meninggal akibat overdosis mengonsumsi heroin. 

Seluruh tubuhku gemetar. Tangisku pecah. Dan ini bukanlah tangis seseorang yang kehilangan kekasihnya, melainkan tak lebih dari tangis kehilangan sahabat terbaik. Sahabat yang selalu menemani hari-hariku. Kini pelangiku tak lagi indah karena satu warna telah lenyap tak berbekas.

Kematian Ryan telah menjadi bahan perbincangan yang mengasyikkan bagi teman-temanku beberapa hari ini. Aku benci tiap kali mereka berbicara tentang Ryan. Aku tak kuat mendengar mereka berbicara seolah-olah Ryan adalah teroris paling berbahaya yang harus dibunuh dengan cara ‘ditembak mati’.

Tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Sebab, semenjak kematian Ryan, teman-teman sekelasku memandangku layaknya seorang pembunuh berdarah dingin. Atau barangkali mereka takut dan jijik mendekatiku, karena menganggapku sebagai seorang pembawa sial. 

Penolakan terhadapku rupanya tak cukup hanya sampai di kelas. Winny, Alya, Errie, dan Indah juga menghindariku. Seakan aku virus ganas yang mematikan. Tak ada yang bisa membuatku merasa lebih sedih daripada dikucilkan dan dijauhi sahabat-sahabat terdekat.

Otakku tak henti-hentinya memikirkan alasan yang paling tepat, yang membuat seluruh murid di sekolah kompak menjauhiku. Apa mungkin mereka mengira bahwa akulah yang telah merusak hidup Ryan dan menyeretnya ke dalam kegelapan? Menjerumuskan dan mengenalkannya pada obat-obat terlarang yang akhirnya mencabut nyawanya? 

Entahlah. Aku pusing demi memikirkan berbagai alasan  kenapa mereka membenciku. Yang aku tahu, hanya segelintir orang yang berduka atas kepergian Ryan. Bahkan Indah terlihat biasa-biasa saja saat mengetahui kematian Ryan yang adalah mantan kekasihnya.

Kini hari-hariku suram. Aku benci dengan keadaan yang harus kuhadapi sekarang. Nilai-nilaiku menurun drastis. 

Aku tahu,  kala aku menangis di kelas,  Della sering memerhatikanku. Aku yakin,  saat ini ia pasti amat berbahagia atas penderitaan yang kualami. Dan aku tak akan sudi melihatnya! Sebab, sudah pasti gadis itu hanya akan menghadiahkan berjuta-juta senyum sinis yang kurasa sanggup membunuhku seketika.


Onggokan sepi merayap rupa
Kerikil hampa penuhi hati
Terhempas kekosongan yang menggunung
Alunan nada ceria hentikan denyut jantung
Variasi warna menebar tak terhiraukan
Ingin raib, ingin musnah, ingin tiada…
Agar tak kumiliki hampanya hati
Menara sendu berdiri anggun
Ejaan sepi pun tak lagi terbaca
Tidur saja senang itu!
Agar kelabu erat menyatu dengan kesunyian
Lingkaran tawa mengurung hampa
Opini tentang bahagia terhanyut sudah
Venus tersenyum dalam kemenangannya
Akan kekosongan yang terpantul di seraut wajah
Irama kesepian hanya berdetak di kisi-kisi hati yang mengkristal...


Aku menatap puisi yang baru saja kubuat. Dari kedua sudut mataku, mengalirlah butiran bening yang sejak tadi tertahan. Kutatap kupu-kupu yang menari-nari penuh kebahagiaan mengejekku serta bunga-bunga yang penuh keanggunan menertawakan kemalanganku.

Di belakang sekolah inilah aku bisa menangis sejadi-jadinya. Berbagi keluh kesah pada bunga-bunga yang bermekaran serta  pada kupu-kupu yang menari riang. Namun, seketika aku terdiam kala mendengar ketup langkah  mendekat ke arahku.

“Kurasa... ini akan begitu kau perlukan saat ini," kata seseorang di belakangku sambil menyodorkan sebentuk saputangan indah berwarna biru pucat. 

Aku memberanikan diri membalikkan tubuh untuk menatap pemilik saputangan itu. Mungkin aku lebih percaya bahwa matahari besok akan terbit di sebelah barat dan terbenam di sebelah timur daripada apa yang kulihat sekarang!

Tepat di belakangku, Della tersenyum sambil masih menyodorkan saputangannya. Dengan ragu, akhirnya aku mengambil saputangan itu dan mengusap airmataku.Tanpa kutawari, Della segera duduk di sampingku.

“Dulu, aku telah kenyang menghadapi keadaan seperti yang kau alami saat ini. Dikucilkan dan kesepian..." 

Mata Della yang bulat tak hentinya menatapku. “Dan sekarang… aku tak mungkin membiarkanmu menghadapi masa-masa sulit ini sendirian, seperti halnya aku dulu..."

Della tersenyum padaku. Kali ini bukanlah senyum penuh ejekan dan hinaan. Tiba-tiba, wajah Della yang biasanya terlihat seperti nenek sihir di mataku, kini begitu menyejukkan. Dan kini, aku dapat melihat dengan jelas sepasang sayap putih melekat di belakang tubuhnya. Ia memelukku. Hangat. Penuh persahabatan. Membuatku tak ingin lepas dari pelukannya. 

Kutatap mega yang bergerak tertiup angin. Pada gumpalan putih itu aku telah mengatakan semuanya. Bahwa dunia ini terus berputar. Dan sahabat-sahabat terdekatmu suatu saat akan pergi meninggalkanmu satu persatu dengan goresan luka. Bahkan tak menutup kemungkinan mereka akan membunuhmu. Begitu pula, seseorang yang kau anggap musuh, suatu saat bisa saja mengobati luka-luka hatimu dengan sejuta kasih sayang yang tak pernah terbaca olehmu, karena hatimu diselimuti kabut dengki dan kebencian.

Maka temukanlah sahabat yang terbaik bagi hatimu, tanpa melihat apa yang dapat dilihat oleh matamu.



—Selesai—


(Cerita ini ditulis ketika sedang duduk di bangku SMA kelas XI dalam rangka lomba menulis cerpen yang diadakan sekolah. Masuk kategori 5 besar cerpen terbaik di sekolah kala itu).




Bagikan Yuk :




Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar