TELL ME GOODBYE # 4



Author : Wintervina
Genre  : Romance-Comedy
Type   : Multi-chapter
Cast    :



-Yuya Takaki as Draco Malfoy

-Kei Inoo as Hermione Granger
-Ryutaro Morimoto as Harry Potter
-Yuto Nakajima as Ronald Weasley
-Yuuri Chinen/Yuuri Nakajima as Ginny Weasley
-Hikaru Yaotome as Blaise Zabini
-Keito Okamoto as Theodore Nott
-Ryosuke Yamada/Ryoko Yamada as Pansy Parkinson
-Jhonny Kitagawa as Severus Snape
-Kouta Yabu as Argus Flich
-Daiki Arioka as Madam Pomfrey



---------------------------------------------------------------------------------



Chapter  4



Yuya terbelalak tak menyangka bahwa akhirnya Kei memiliki nyali juga untuk menolongnya. Beberapa detik setelah bibir Kei mendarat tepat di bibirnya, ia kembali merasakan seluruh fungsi tubuhnya kembali. Begitu pula dengan sendi-sendinya yang lebih leluasa untuk digerakkan. Kini ia bukan lagi mayat hidup atau patung bernyawa. Menyadari itu, hatinya bersorak riang. Saking terlalu bersemangatnya ia menemukan dirinya bebas dari jeratan— mistletoe—pembawa—derita—itu, ia pun dengan refleks mendorong tubuh Kei menjauh darinya. Mendapat perlakuan seperti itu dari orang yang baru beberapa menit lalu mengemis-ngemis pertolongannya, Kei pun membelalakkan kedua matanya, memancarkan kemarahan. Namun jangan harap Yuya peduli tentang isi hati orang lain—terlebih isi hati seorang gadis lumpur seperti Kei Inoo. Ia malah sibuk menyajikan seringai busuk khasnya—bukannya malah berterima kasih lantaran sudah ditolong. Oh, baiklah. Jangan terlalu mengharapkan lebih dari seorang Yuya Takaki. Karena memang tak ada yang bisa diharapkan darinya. Kemampuannya kurasa hanya terletak pada kepandaiannya mengukir ‘seringaian—bodoh—yang—membuat—perut—berkontraksi—ingin—muntah’. Dan menunggu seorang Takaki ‘berterima kasih’?? Itu tak akan pernah terjadi! Kenapa? Well, sudah jadi rahasia umum bahwa Takaki paling anti untuk berterima kasih!

“Terpesona padaku, Inoo?” ujar Yuya dengan seringai busuk khasnya. Mencoba menggoda Kei yang masih terpaku di posisinya dan masih menatap Yuya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan,”atau—astaga!! Jangan-jangan kau kecanduan untuk menciumku?!” Yuya berkata dengan nada dibuat seolah-olah sedang ketakutan. Jari telunjuknya meraba bibirnya yang baru saja menyatu dengan bibir gadis yang masih menatapnya tak berkedip di hadapannya itu.

Mendengar itu, rona kemerahan menguasai kedua pipi Kei. Namun Yuya yang memang tak diciptakan hati dan perasaan yang peka itu tak menyadari bahwa wajah gadis di hadapannya semakin memanas—mencoba menahan segala luapan emosinya.

“Dasar kau Ular Licik menyebalkan! Jangankan mendahulukan untuk berterima kasih padaku, kau malah menggodaku seperti itu! Benar-benar menyesal aku telah menolongmu!” ujar Kei dengan emosi yang menguasainya.

Lagi-lagi Yuya menyeringai dengan gaya yang ‘memuakkan’ seperti biasa. Aneh. Entah kenapa ia tak pernah bosan untuk menyeringai bodoh seperti itu. Padahal Kei saja yang melihat itu sungguh dan dengan sangat jujur merasa muak—teramat muak bahkan. Mungkin dari kecil, orang tuanya tak pernah mengajarkan bagaimana cara tersenyum yang benar—begitu pikir Kei ketika melihat seringai khas Yuya Takaki entah untuk yang ke berapa ribu kali.

“Kupikir akan lebih tepat bila akulah yang mendengar ucapan terima kasih darimu, Inoo,” ujar Yuya dengan tampang arogannya menatap tajam hingga ke dalam mata Kei yang membuat gadis berambut ikal itu merasa sangat risih.

“Demi apa aku mesti berterima kasih pada ular bodoh sepertimu?! Demi rambut putih Merlin, aku tak akan pernah melakukannya! Tak—akan—pernah!!” Kei mendengus kesal, memberi penekanan di tiap kata yang digunakan di akhir kalimatnya.

Mendengar apa yang baru Kei katakan membuat pemuda jangkung di hadapannya melangkahkan kaki seperti hendak menghampirinya—dan ternyata memang benar begitu. Kini Kei dapat merasakan napas pemuda itu menerpa sebagian wajahnya. Namun ia mencoba untuk tak mempedulikannya—walaupun hal itu tentunya sangat sulit.

Yuya menyapu pandangannya ke seluruh wajah Kei—tanpa melewatkan  setitik bagian pun untuk diamati. Dan itu sukses membuat Kei menjadi jengah setengah mati. Melihat itu Yuya menorehkan senyuman—ralat—seringaian andalan di bibir tipisnya.

“Oh, Inoo. Seandainya kau tidak terlalu gengsi untuk mengucapkan terima kasih untukku, tentu akan lebih menyenangkan bukan?”

“Sudah ku bilang aku TIDAK AKAN PERNAH berterima kasih padamu!! Dengar?!”

“Kau yakin??” Kei mengepalkan kedua tangannya menahan emosi yang sudah tak bisa lagi dibendungnya terhadap putera tunggal keluarga Takaki itu,”kau tahu—banyak sekali gadis yang ingin untuk mendapatkan ciuman dariku. Dan setidaknya kau beruntung. Well, mungkin jika aku tidak dalam kondisi terdesak tadi, kau hanya akan menghayalkan saja mendapat ciuman dari seorang Yuya Takaki.”

Ada satu titik air mata yang mengalir perlahan dipipi Kei yang luput dari pantauan Yuya. Dan itu setidaknya membuat Kei lega. Karena ia paling benci memperlihatkan sisi lemahnya kepada orang lain—terlebih kepada pria busuk mesum yang saat ini tepat berada di hadapannya.

Kei menghela napas panjang, menatap pemuda di hadapannya dengan pandangan menusuk. Ada kilatan kemarahan yang walau ia samarkan tetap saja menang dan menguasainya.

“Yeah, terima kasih Yuya Takaki!” ujar Kei kemudian sebelum menggertakkan giginya mencoba meredam luapan amarah yang makin membakarnya. Tanpa menunggu respon pria licik itu, ia secepat kilat mengambil langkah meninggalkan lorong gelap itu . Lanjutan kalimat yang diucapkannya hanya tersimpan di dalam hatinya sendiri. Tak berani untuk dikeluarkan. Dan lagi—untuk apa?! Hanya akan membuat pria licik itu merasa semakin berada di atas angin. Tentu saja hal itu sangat tidak diharapkannya.




Yeah terima kasih Yuya Takaki—karena telah mengambil ciuman pertamaku yang bagiku sangat berarti!




Kata-kata itu terus menari-nari dalam diri Kei. Kenapa?? Kenapa mesti Takaki brengsek itu yang mendapatkannya?! Ia telah menanti saat itu tiba—ciuman pertamanya. Tapi demi Merlin, tak sedetik pun ia pernah mengharapkan orang yang akan menciumnya adalah pria—mesum—bermoral—bejad—titisan—iblis bernama Yuya Takaki!

***


Pagi hari di aula besar, seperti biasa hiruk pikuk murid-murid bergema di seluruh penjuru aula itu. Seperti pagi-pagi sebelumnya di jam yang sama, pada saat ini mereka tengah menyantap sarapan mereka sebelum memulai pelajaran pagi hari ini. Di deretan meja panjang Gryffindor, terlihat Ryutaro, Yuto, dan Yuuri tengah menyantap sarapan mereka sambil bercakap-cakap. Tapi sesungguhnya yang bercakap-cakap sejak tadi hanya Ryutaro dan Yuuri saja—Yuto lebih memilih menggigit ayam panggangnya dalam kesunyian. Ini tentu kelihatan janggal sekali—mengingat biasanya Yutolah yang yang menjadi otak keributan saat kegiatan makan di aula. Tak hanya itu, di mana pun ada Yuto—menurut Ryutaro—pasti ada keributan. Sebab masih menurut Ryutaro—mulut Yuto akan kejang-kejang bila tidak ia gunakan untuk berbicara setidaknya sepuluh detik sekali. Yeah mungkin kau akan menganggap apa yang Ryutaro katakan itu kedengaran agak berlebihan. Tapi kujamin kau tidak akan meragukan segala ucapan Ryutaro bila kau berada setidaknya lima menit di samping pemuda jangkung Gryffindor itu.

“Hai~” ujar seorang gadis yang lalu mengambil tempat duduk di samping Yuuri  dan tak lama kemudian mendapat hadiah senyuman dari Yuuri dan Ryutaro—namun tidak dari Yuto.

“Hai juga, Kei,” ujar Yuuri dan Ryutaro terdengar hampir bersamaan.  Namun Yuto tetap mempertahankan kebungkamannya—sayangnya hal itu tak disadari oleh Kei. Kei mengambil piringnya dan mengisi segala aneka makanan ke piring itu dari udara kosong. Tanpa banyak omong lagi ia segera menyantap makanannya. Yeah, tak mengherankan. Kei memang tak suka berbicara terlalu banyak di saat sedang makan. Hal itu sangat bertolak belakang dengan Yuto yang mungkin dalam keadaan apapun akan senang sekali jika menghabiskan waktunya dengan menggerakkan bibirnya dan mengeluarkan suara serta memulai topik perbincangan dari A hingga Z. Tapi kenapa sekarang Yuto seolah-olah melupakan kebiasaannya itu? Ia lebih memilih sibuk menggigiti ayam panggangnya tanpa melibatkan diri dalam obrolan teman-temannya seperti biasa.

Yuto sesekali mencuri pandang ke arah Kei yang saat itu sedang menyeruput jus labunya yang tinggal separuh lagi dari gelasnya. Entah kenapa emosinyanya seakan hendak meluap setiap kali melihat wajah Kei—tepatnya bibir Kei. Ya, dia takut bila membayangkan ada pria lain yang lebih dulu mendapatkan ciuman gadis yang diam-diam telah disukainya sejak tahun pertama di Hogwarts itu. Ia tak akan segan-segan berduel dengan siapapun pria yang dengan lancangnya mendapatkan ciuman Kei itu. Prinsipnya, jika ia tak bisa mendapatkan ciuman gadis terpintar di Hogwarts itu, maka orang lain pun tak akan ia biarkan mendapatkannya. Kedengaran egois memang. Namun egois untuk cinta bukannya sudah biasa terdengar, bukan?

Yuto tentu saja kecewa bukan main setelah apa yang direncanakannya dan adiknya—Yuuri—berakhir dengan kegagalan besar. Ketika ia mengecek perangkap mistletoe di lorong panjang gelap tadi pagi, tak ada siapa pun yang terperangkap dalam naungan tumbuhan itu. Harapannya untuk melihat Kei mematung di bawah jeratan mistletoe dan  menanti kedatangannya sebagai pahlawan  yang membebaskan gadis itu pun musnah sudah. Namun Yuto mencoba membuang semua prasangka dan pikiran negatifnya. Bisa saja kan orang lain— selain Kei— yang terjebak oleh jeratan mistletoe itu? Dan melihat Kei yang makan dengan wajah ceria seperti itu,  maka Yuto pun segera mengenyahkan segala pikiran buruknya. Ya, tak ada lagi yang ia rasa perlu dikhawatirkannya pada gadis yang sekarang tengah menggigit tart caramelnya sambil sesekali membaca buku ‘Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam’ itu—yang merupakan pelajaran yang akan mereka ikuti seperempat jam lagi.

Namun keasyikan Kei melahap makanannya harus terhenti oleh kedatangan pangeran kebanggaan asrama bersimbol ular ‘bodoh’—Slytherin. Mata Kei masih setia mengamati objek jangkung di ambang pintu masuk aula yang kini melangkah  dengan santai—mencoba menebar pesona seperti biasa. Di meja Slytherin, kawanan ular yang sama ‘busuk’ dengannya menyambut dengan gembira kedatangan pangeran mereka—Yuya Takaki tentu saja. Hikaru dengan tawa lebar— memperlihatkan gingsulnya yang ia pikir indah itu —menyiapkan kursi kosong bagi pria yang wajahnya tak ubah bagai cerminan Basilisk—dingin dan membekukan. Dengan wajah datar seperti biasanya, Yuya mendaratkan pantatnya di kursi yang disediakan Hikaru untuknya.

“Kesiangan lagi Yuya? Oh, dear, aku heran kenapa kau bisa jadi Ketua Murid dengan ‘kebiasaan-bangun-kesiangan’ seperti itu?” ujar Ryoko Yamada yang kini bergelayut manja di pundak Yuya—seakan sudah seabad ia tak bersua dengan pemuda di sampingnya itu. Melihat itu, Hikaru dan Keito terkekeh geli—dan tentu saja dengan tidak bersuara. Kau tahu sendiri kan seberapa buruk akibatnya bila terang-terangan menertawai seorang Yuya Takaki? Bisa-bisa mereka berakhir di neraka saat itu juga.

Sementara di meja Gryffindor, seorang gadis sibuk memelototi sepasang kekasih— yang menurutnya tengah pamer kemesraan di saat yang tidak tepat. Yeah, siapa lagi kalau bukan Yuya Takaki dan si gundiknya—Ryoko Yamada. Melihat Ryoko yang tak kunjung memisahkan diri dari Yuya sejak Yuya bergabung di meja Slytherin membuat Kei merasa kesal. Tangannya sudah terasa gatal sekali dari tadi ingin menggapai tongkat sihir yang terselip damai sentosa di saku jubahnya. Mungkin mengirim satu dua kutukan tak masalah kan kepada gundik Yuya itu?

Oh! Tidak!! Tidak—apa yang ia pikirkan sejak tadi? Melihat Ryoko dan Yuya bermesraan setiap jam makan di aula bukannya sudah biasa kan? Lantas kenapa dengannya hari ini? Ia yakin betul bahwa ada bagian otaknya yang konslet saat ini. Karena sejak kapan ia peduli terhadap gadis mana saja yang bercumbu dengan pria mesum kebanggaan Slytherin itu?

Tapi memang sepertinya logikanya sedang macet saat ini. Dan ia benci menyadari akan hal itu! Ia cemburu pada Ryoko Yamada! Ia ingin mengirim berbagai kutukan agar gadis genit itu menyingkir dari sisi Yuya—dan akan lebih baik menyingkir untuk selama-lamanya! Oh, astaga!! Apa yang baru saja ia pikirkan?!! Ini tidak benar! Kei memukul-mukul kepalanya dan tentu saja Ryutaro, Yuuri, dan Yuto yang melihat kelakuan aneh Kei itu serta merta menghadiahinya tatapan keheranan.

Merlin, demi apa aku mesti meyimpan perasaan tak berguna ini pada ‘pria mesum’ itu?! Keluh Kei dalam hatinya. Matanya masih saja tak bisa diajak berkompromi menjalankan perintah otaknya. Matanya hanya terfokus pada pangeran Slytherin—entah sejak kapan.


“Ryuu, bolehkah aku meminta bantuanmu?” tanya Kei menatap penuh harap pada sahabat karibnya yang terlihat menggemaskan dengan kaca mata bundar yang terbingkai pas di wajahnya.

“Tentu saja boleh, Kei, selagi aku bisa membantumu,” ujar pemuda itu tersenyum. Mendengar itu perasaan Kei menjadi sedikit lega.

“Begini—aku ingin meminjam jubah gaibmu malam ini. Hanya malam ini saja, Ryuu.”

“Jubah gaib? Untuk apa?” selidik Ryutaro sambil mengukir kerutan di keningnya. Sementara Yuuri dan Yuto menghadiahkan tatapan curiga.

Mendapat respon seperti itu dari ketiga temannya, Kei pun memutuskan untuk semakin berhati-hati. Yeah, ia tak ingin teman-temannya sampai tahu apa yang hendak ia lakukan. Yang sesungguhnya dia hanya ingin meracik ramuan penangkal amortentia di laboratorium milik profesor Jhonny Kitagawa. Sebab menurutnya, perasaannya yang ‘aneh’ terhadap Yuya Takaki pasti karena dimanipulasi. Yeah, si ular licik itu pasti telah memasukkan ramuan amortentia ke makanan atau minuman Kei saat ia sedang lengah pada waktu berada di asrama Ketua Murid. Sebab mana mungkin ia menyukai Yuya Takaki?! Well, hanya satu yang membuat hal itu mungkin. Ramuan amortentia! Yeah, sudah jadi rahasia umum, jika ramuan amortentia masuk ke tubuh seseorang, maka orang itu akan menjadi tergila-gila kepada si pemberi ramuan. Dan melihat segala kenakalan Yuya Takaki selama ini, Kei tak ragu sama sekali menuduh pria jangkung mesum itu sebagai otak di balik segala perasaan ‘abnormal’ yang melandanya ini. Untuk itulah ia mesti mencari tahu resep ramuan penangkal amortentia setelah sarapan pagi ini ke perpustakaan. Tentu saja dengan mengorbankan tidak mengikuti pelajaran ‘Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam’. Membolos sekali-kali tak menjadi masalah 'kan? Apalagi mengingat tujuan membolosnya kali ini adalah demi mempertaruhkan kehidupannya. Well, lagi-lagi Kei terdengar berlebihan bila topik yang dibahas sudah menyangkut pangeran Slytherin itu.

“Aku—aku hanya ingin mengerjakan essay  ‘Transfigurasi’ku dengan tenang. Well, aku tahu ini kedengaran berlebihan, 'kan?” ujar Kei saat ketiga pasang mata sahabatnya sibuk memelototinya. ”Dengar—aku—aku khawatir essay yang panjangnya dua meter itu tak akan selesai tepat waktu mengingat Takaki sialan itu terus-menerus menggangguku. Dan ujung-ujungnya kami pasti berakhir dengan perang mantra—melempar kutukan satu sama lain. Kurasa jika begitu terus nasib essayku berada di ambang kematian.”

“Tapi kan kau bisa saja mengerjakan essaymu di ruang rekreasi Gryffindor. Dan menurutku akhir-akhir ini kau jarang lagi pergi ke sana—tepatnya sejak kau menjadi Ketua Murid,” ujar Yuto dengan menatap lesu sisa makanannya. Entah kenapa ia merasa Kei semakin menjauh saja dari mereka sejak ia menjabat sebagai Ketua Murid. Dan itu membuat Yuto sungguh merasa kehilangan Kei.

“Oh, ayolah, Yuto. Kau harus mengerti. Aku sekarang Ketua Murid. Hampir setiap waktu ada saja yang memerlukanku. Untuk itu aku mesti menghabiskan waktuku lebih banyak di asramaku." Yuto menghela napas panjang demi mendengar alasan klasik Kei yang mulai menjadi lantunan andalannya sejak ia jadi Ketua Murid,”dan—tentu saja aku ingin sekali mampir sesering mungkin ke ruang rekreasi Gryffindor. Hanya saja—aku tidak bisa. Maaf Yuto...” Kei mulai merasa tak nyaman demi melihat wajah murung yang sungguh tak biasanya Yuto tampakkan itu. Bahkan Kei dulu berpikir bahwa Yuto hanya bisa memasang ekspresi konyol saja seumur hidupnya.

Melihat suasana yang nampaknya akan berubah menjadi keruh, Ryutaro buru-buru berkata, ”Baiklah, Kei, kau boleh meminjam jubah gaibku. Aku tak ingin melihatmu berperang mantra terus dengan si Takaki itu,” ujar Ryutaro tersenyum, berusaha mencairkan suasana yang mulai membeku.


Mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Ryutaro kepadanya membuat Kei merasa bahagia setengah mati. Bahagia karena sebentar lagi perasaan terkutuk ini akan musnah! Ya, tak akan ia biarkan perasaan menjijikkan ini bersarang lebih lama di hatinya. Merlin, ia bisa gila jika memikirkan perasaan sukanya ini akan bertumbuh subur pada Yuya Takaki!

“Terima kasih, Ryuu. Aku tahu kau memang sahabat yang bisa kuandalkan,” ujar Kei mengirimkan senyuman termanisnya kepada sahabat baiknya itu sementara Yuto hanya mampu menggerutu pelan di bangkunya.

***

To Be Continue...




Bagikan Yuk :




Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar