Chocolate Strawberry #Chapter 1 (Hey! Say! JUMP Fanfiction)


Author : Wintervina
Genre  : Romance 
Cast  : Yamada Ryosuke (HSJ), Nakajima Yuto (HSJ), Chinen Yuuri (HSJ), Shida Mirai, and Nishiuchi Mariya
Type   :Chaptered

---------------


Chapter 1

[ Yamada’s POV]
Uh. Semua menyebalkan. Benar-benar menyebalkan.

Bungkus cokelat yang ada di genggaman kubuka dengan kasar. Kugigit cokelat itu hingga hanya tersisa sebagian. 

Aku benar-benar tak habis pikir dengan kedua temanku, Yuto dan Chinen. Kenapa mereka selalu saja melupakanku di saat aku memerlukan mereka? Padahal, jika bersama mereka, biasanya aku sedikit dapat melupakan kesedihan yang menyelimutiku. Tapi kini mereka lebih sibuk dengan para gadis itu. Padahal aku paling benci kesepian seperti ini. Aku begitu takut jika rasa sepi ini mengalahkanku. 

Takut.

“Yama-chaan! Yama-chaaaan!”

Aku berhenti menggigit cokelat ketika mendengar seseorang berteriak memanggil namaku.

“Yama-chaaaan!”

Kali ini, suara teriakannya lebih melengking dibandingkan yang pertama. Aku tahu itu pasti teriakan Yuto dan Chinen. Sengaja aku tak menjawab panggilan mereka. Biar mereka tahu rasa. Huh!

“Yama-chan,baka! Rupanya kau enak-enakan makan di sini. Kenapa kau tak menjawab panggilan kami?" ujar Chinen dengan tampang kesal mendekatiku.

Yuto mengikuti Chinen dari belakang. Mereka segera duduk di sisi kiri dan kananku. Jadi, sekarang posisiku di tengah-tengah mereka.

“Iya, Yama-chan. Chinen benar. Kami sudah lelah mencarimu ke mana-mana. Eh, rupanya kau malah asyik makan di sini. Aku jadi kesal!” Yuto ikut-ikutan memarahiku.

Aku tetap diam dan asyik menikmati cokelatku tanpa menghiraukan mereka yang sibuk menceramahi. Biarkan saja. Siapa suruh mereka baru mencariku sekarang? Tadi waktu aku perlu, mereka ke mana?


[Chinen’s POV]
Yama-chan benar-benar menjengkelkan. Sebenarnya dia kenapa, sih? Aneh sekali. Mogok berbicara seperti itu. Kenapa tidak sekalian mogok makan juga?

Hmmm, tapi mana mungkin ya kalau Yama-chan mogok makan. Sebab, dia adalah manusia yang tidak bisa hidup sedetik pun tanpa cokelat. Tapi, belakangan ini jika diperhatikan secara saksama, anak itu memang berbeda. Sepertinya ia menyimpan suatu masalah. Tapi, sayangnya aku tidak tahu apa tepatnya masalah yang ia hadapi.

***


[Yamada’s POV]
Lagi. Mereka melupakanku dan sibuk dengan para gadis centil itu. Apakah aku memang terlahir di dunia ini untuk selalu sendiri dan kesepian? Tuhan, sampai kapan rasa ini berakhir?  Aku sudah muak menjalaninya. Aku ingin pergi. Aku ingin pergi menyusul dia. Walaupun dia telah membenciku dan memilih meninggalkanku.

“Genduuuuut!”

Siapa sih? 

Aku nyaris terjatuh dari kursi yang kududuki karena terlampau kaget. Saat aku menoleh ke samping kiri, seorang gadis yang sangat kukenali tersenyum padaku. Dia Shida Mirai, teman sekelasku. Ah, tidak, mungkin lebih cocok disebut musuh bebuyutanku.

“Sudah kukatakan berkali-kali, jangan panggil aku Gendut!”

“Kenapa? Tidak senang dipanggil Gendut? Bukankah kenyataannya kau memang seperti itu? Jadi untuk apa kau marah? Ha ha ha.”

Gadis itu, Mirai-chan, sedang menertawakanku dengan kedua tangan memegangi perut. Cukup. Bukan saatnya, Mirai-chan. Aku sedang tidak ingin bermain denganmu. Jangan ganggu aku. Tolong. Setidaknya untuk saat ini...

“Woii, Gendut! Kenapa diam begitu? Apa kau sudah sadar sekarang kalau kau memang gendut?" Usai berkata seperti itu, Shida Mirai kembali tertawa.

Cukup. Jangan buat aku marah. Jangan sekarang!


“Dengar, aku TIDAK GENDUT!” teriakku lantang, dan langsung membuat Shida Mirai menghentikan tawanya.

“Ha? Kau barusan bilang apa? Tidak gendut? Yang benar saja?” Lantas gadis berambut hitam sebahu itu kembali terkekeh.

Kalau saja yang di hadapanku sekarang bukan seorang perempuan, pasti semenjak tadi aku sudah menghajarnya. Benar-benar menyebalkan. Tidak ia bikin kesal pun, mood aku akhir-akhir ini, terutama sekarang, memang sedang buruk.

“Yama-chan!”

Aku dan Shida Mirai serempak menoleh ke arah Yuto yang berjalan mendekati kami. Untunglah, kali ini aku benar-benar harus berterima kasih pada Yuto. Kedatangannya benar-benar telah menyelamatkan Shida Mirai dari amukanku.

[Shida’s POV]
Yuto!

Kenapa dia kemari? Aduh, aku benar-benar kaget. Kenapa dia datang mendadak seperti ini, sih? Aku harus bersikap seperti apa ya? 

Waaah, Yuto-kun kakkoii~!

“Yama-chan, aku dan Chinen mencarimu dari tadi. Kau di sini rupanya,” kata Yuto pada si Gendut, lantas kemudian ia menoleh padaku dengan segaris senyum. 

Kakiku mendadak menjadi gemetar. Hampir tak kuat lagi menopang tubuh. 

Benarkah?

Ini bukan mimpi,kan? Yuto-kun tersenyum manis padaku. 

Tuhan, aku bahagia. Terima kasih untuk hari ini.


[Yuto’s POV]
Aku sungguh kaget sewaktu melihat Mirai-chan tengah tertawa bersama Yama-chan. Ada perasaan yang begitu perih. Menyakitkan...

Kucoba untuk tetap berjalan mendekati mereka. Sebenarnya, aku ingin berbalik arah saja kala melihat mereka berdua tadi. Namun, aku mencoba untuk mengendalikan perasaanku. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri kalau aku tidak sedang cemburu.

Ya, mana mungkin aku cemburu. Tapi, kalau ini bukan perasaan cemburu, lantas apa?

Ano, arigatou,” ucap Yama-chan lirih.

“Eh? Untuk apa?” tanyaku kaget dan tak mengerti. Namun Yama-chan hanya tersenyum tanpa mencoba menjelaskan lebih lanjut. Dasar, anak itu semakin aneh saja.

***


[Shida’s POV]
Wah, rupanya aku terlalu awal tiba di sekolah hari ini. Hihihi. Tapi, ini bagus juga. Pengalaman pertama. Itu karena biasanya aku selalu datang terlambat. 

Aku melangkah gontai memasuki kelas yang masih sepi. Namun, aku kaget kala mendapati seseorang sudah berada di dalam ruangan itu mendahului aku. Dia si Gendut; Yamada Ryosuke. Wah, wah, wah, benar-benar kejutan.

“Genduuut!” sapaku riang padanya.

Yama-chan tampak sedikit kaget. Segera ia menghadiahiku tatapan tajam. "SUDAH KUBILANG, AKU TIDAK GENDUT!”  teriaknya membahana.

Aku sungguh kaget atas sikap si Gendut hari ini. Biasanya, dia tak pernah semarah itu kalau kugoda. Tiba-tiba, aku jadi takut. 

Aku harus bagaimana?

Terdengar ketup langkah mendekati kelas. Namun, aku hanya bisa membatu di ambang pintu. Di belakangku, sudah berdiri Yuto dan teman dekatnya; Chinen. 

“Aku sudah mendengarnya, Mirai-chan. Candaanmu berlebihan. Yama-chan sama sekali tidak gendut seperti yang kau katakan,” ucap Chinen dengan nada marah. Aku tak berani menoleh padanya maupun Yuto. Yang kulakukan hanyalah menunduk memerhatikan pucuk sepatu.

“Ya, aku setuju dengan Chinen. Aku tak akan bisa memaafkan orang yang menghina teman kami seperti tadi," ujar Yuto menambahkan, yang sukses membuat air mata yang semenjak tadi kutahan berderai keluar.

Bagaimana mungkin aku tidak sedih? Orang yang begitu kusukai sekarang telah membenciku.

Hatiku nyeri. Seperti ada yang mengimpit.

Dengan segenap sisa tenaga, aku pun berlari meninggalkan ruang kelas. 

Aku hanya ingin berlari, tanpa tahu arah. Sesekali, aku tersaruk. Pemandanganku kini kian kabur oleh air mata yang tak henti jatuh. 

[Yuto’s POV]
Apa yang telah aku lakukan?

Gadis itu menangis. Aku tak bisa melihatnya seperti itu. Apakah aku harus pergi mengejarnya? Tapi, Mirai-chan telah membuat Yama-chan kesal. Sudah seharusnya sebagai teman Yama-chan yang baik, aku  membela si maniak cokelat itu, kan? Tapi,  kenapa kali ini aku benar-benar merasa amat sedih dan bersalah, ya?

“Hei, apa yang kalian lakukan tadi? Aku tak percaya kalian tega mengatakan hal-hal semacam tadi kepada Mirai-chan. Ini hanya masalahku dan Mirai-chan. Aku tak pernah meminta kalian untuk mencampuri urusanku!" Yama-chan berkata penuh emosi, sembari menatap nyalang padaku dan Chinen.

Sungguh, aku kesal pada Yama-chan. Kalau saja tidak karena ingin membelanya, tentu aku tak akan mengeluarkan kata-kata jahat tadi pada Mirai-chan. Akan tetapi, sekarang lihatlah. Bukannya berterima kasih karena telah dibela, anak itu malah memarahi kami.

Tak lama kemudian, dengan setengah berlari, Yama-chan pergi meninggalkanku dan Chinen. Tak tahu dia hendak ke mana. Terserah! 

Sekarang, yang ada di pikiranku hanyalah Mirai-chan. Wajah gadis itu yang menangis sesaat lalu kembali melintas di benakku.


[Yamada’s POV]

Dasar. Yuto dan Chinen baka!

Kenapa harus melakukan hal-hal seperti tadi hanya demi membelaku? Seharusnya mereka lebih peka terhadap perasaan seorang gadis dibandingkan aku. Bukankah selama ini keduanya selalu bergaul dengan gadis-gadis pemuja mereka?

Aku berhenti berlari kala mendapati seorang gadis tengah menangis pada satu di antara kursi taman. Lantas, aku memutuskan untuk melangkah mendekatinya. Akan tetapi, ia tampaknya tak menyadari akan kehadiranku.

“Mirai-chan. Gomen...” ujarku pelan, bahkan nyaris berbisik.

Mendengar itu, Mirai-chan lantas menatapku yang kini duduk di sebelahnya. Aku terperanjat begitu mendapati raut wajahnya yang tak biasa. Penuh kesedihan.

“Teman-temanku tadi memang bersalah. Jadi, aku mewakili mereka ingin meminta maaf padamu."

Aneh. Mirai-chan tetap bergeming. 

“Mirai-chan... Aku bisa mengerti betapa sakit dibenci oleh orang yang kita kagumi,” kataku lagi. Dan kali ini upayaku berhasil. 

“Apa maksudmu?” tanya Mirai-chan dengan mata disipitkan. Dahinya mengerut. Kedua pipi gadis itu dipenuhi jejak basah.

“Maksudku, kau suka dengan temanku, Yuto, kan?" 

Dan, pada saat itu pula Mirai-chan membelalak, membuat sepasang matanya yang besar kian tampak bulat.

[Shida’s POV]

Kenapa si Gendut ini malah menyusulku? Apa yang sebenarnya ia inginkan?

“Maksudku, kau suka dengan temanku, Yuto, kan?”


Dheg!


Aku kaget setengah mati begitu kalimat itu usai meluncur dari mulut si Gendut. Aku hanya dapat menatapnya tak berkedip selama sepersekian detik.

“Jadi, itu benar, kan?”

Maka, aku pun mengganggukkan kepala dengan lesu. “Un, Yama-chan. Aku memang menyukai Yuto-kun sejak lama,” ucapku pada akhirnya.
Mendengar perkataanku, Yama-chan mendadak tersenyum. Itu tentu membuatku kaget. Sebab, perlu dicatat, ini adalah kali pertama aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri bahwa seorang Yamada Ryosuke tersenyum. Ya, setidaknya sekarang aku tahu bahwa ia dapat tersenyum sebagaimana manusia lain, bukan?


Dan, harus aku akui, senyum Yama-chan choukawaii. Manis sekali. Ada semacam perasaan damai yang singgah di hati ketika aku melihat senyumnya itu.

“Kenapa kau malah tersenyum seperti itu?” kataku memecah keheningan ganjil yang menaungi kami.

"Memangnya ada alasan lain untuk tersenyum? Tentu saja karena aku sedang senang. Itu karena tadi adalah kali pertama kau memanggilku dengan Yama-chan, bukan Gendut seperti biasa," terangnya dengan senyum yang belum pupus. 

Oh, jujur, aku menyukai cara Yama-chan tersenyum. Tapi, bisakah ia berhenti? Sebab, jika seperti itu terus, aku khawatir akan berpaling menyukainya.   

“Baiklah, kalau begitu, untuk ke depannya aku akan terus memanggilmu dengan Gendut!" kataku mulai kembali menggodanya.

Mendengar perkataanku, senyum Yama-chan seketika sirna. Dan, sebagai gantinya, ia memasang tampang masam. Melihat itu, aku pun tertawa. 


Terima kasih, Yama-chan, karena telah membantuku melupakan kesedihan ini. Namun, sekarang tahukah kau bahwa aku sangat takut? Takut karena telah menyukai senyum lelaki yang kini duduk di sisiku.

Itu semua salahmu, Yama-chan, karena telah menunjukkan senyum langka tadi. 

Itu salahmu. 
***

To Be Continue...





Bagikan Yuk :




Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar