One Love (Hey! Say! JUMP Fanfiction)

Senin, 27 Mei 2013


Author : Wintervina
Genre  : Romance
Cast   : Shida Mirai, Yamada Ryosuke (Hey! Say! JUMP)and Nakajima Yuto (Hey! Say! JUMP)
Type   : Oneshoot

-------------------------------------------

Alunan musik di ruang tengah keluarga Yamada terus berkumandang mengiringi kedua remaja yang terlihat sedang asyik mengerjakan tugas kuliahnya. Lagu ‘One Love’ milik Arashi. Lagu kesukaan salah seorang di antara mereka.

“Uh, Yama-chan! Aku lelah mengerjakannya. Sisanya kau saja ya yang mengerjakan?” rengek gadis manis di samping pemuda berambut kecokelatan yang masih serius menyelesaikan tugasnya. Pemuda yang dipanggil Yama-chan itu tak menjawab perkataan gadis berambut hitam sebahu itu. Namun, ia mengulas segaris senyum tipis sebagai tanggapan. Senyumnya manis. Begitu tulus dan damai.

Yatta! Yama-chan memang paling baik dan selalu bisa kuandalkan!” sorak gadis berkulit terang itu dengan senang.

Tak lama kemudian, gadis tersebut telah sibuk sendiri menonton televisi di hadapannya. Melupakan pemuda yang tadinya ia panggil Yama-chan, yang tengah berkutat menyelesaikan tugas-tugas kuliah mereka. Tugas itu banyak sekali dan begitu sulit.

“Yama-chan! Yama-chan! Coba lihat! Itu Nakajima Yuto! Waaah, dia terlihat tampan sekaliii!” teriak sang gadis dengan mata tak berkedip menatap layar televisi yang tengah menayangkan gambar seorang penyanyi lelaki seumuran mereka. Belakangan ini, nama penyanyi lelaki itu memang tengah bersinar dan digandrungi hampir oleh seluruh remaja di Jepang, bahkan Asia.

Yama-chan menoleh ke arah televisi dengan tampang masam. Menghentikan kegiatannya menulis tugas-tugas mereka dengan berat hati.

“Mirai-chan, bukankah setiap hari kau selalu melihat pemuda itu di televisi? Lantas, kenapa tiap kali melihatnya selalu saja berteriak histeris seperti itu? Apa kau tak bosan? Aneh...”

“Hanya melihat dari televisi saja tentu tidak cukup, Yama-chan! Aku ingin bertemu langsung dengannya! Bagaimana aku tidak histeris, dia nyaris sempurna. Keren, tampan, kaya, dan populer…”

“Tapi, kan aku juga tidak kalah dari anak lelaki itu,” ujar Yamada memotong perkataan Mirai-chan. “Aku juga keren. Pintar lagi! Si Yuto itu pasti kalah saing denganku.”

"Huuuu~ Sombong! Iya, aku tahu kau memang pintar! Tapi, sampai kapan pun kau tidak akan bisa menandingi seorang Nakajima Yuto di mataku!” sahut Mirai sambil menjulurkan lidah ke arah Yamada, bermaksud meledek pemuda itu.

Entah kenapa, tatkala mendengar perkataan Mirai tadi, perasaan Yamada menjadi sakit. Padahal, bukan sekali ini saja gadis itu berkata seperti tadi padanya. Seharusnya,  kuping Yamada sudah terbiasa mendengar pujian sang gadis untuk sang idolanya; Nakajima Yuto.

Ya, walau pun hanya seorang artis. Walau pun tak kenal secara pribadi. Entahlah. Yamada merasa tak suka tiap kali mendengar sahabat kecilnya itu memuji-muji lelaki di balik layar kaca itu. 

Nakajima Yuto.

***


-10 tahun yang lalu-

“Yama-chan, mari kita membuat janji!” ajak Mirai kecil pada anak lelaki bernama Yamada Ryosuke.

“Mirai-chan mau buat janji apa denganku?” tanya anak lelaki itu dengan polos.

“Ayo janji jadi pasangan pengantinku jika sudah besar nanti!” ucap Mirai dengan riang sambil mengulurkan kelingkingnya ke arah Yamada.

Yamada yang sama polosnya saat itu membalas dengan selengkung senyum sembari mengaitkan kelingkingnya dengan kelingking Mirai.

Mereka telah berjanji...

***


“Yama-chan!” teriak Mirai setengah berlari ke arah pemuda berkacamata yang sedang asyik menyesap jus strawberry di salah satu meja kantin.

Doushite?” tanya pemuda itu mengerutkan keningnya begitu melihat Mirai yang terlihat panik pagi itu.

“Yama-chan…,” napas gadis itu masih terengah-engah. Yamada segera menyodorkan jus strawberry-nya kepada Mirai. Dengan kalap, sahabatnya itu segera meminum jus tersebut hingga hanya tersisa separuh.

“Yama-chan, kau pasti tak percaya mendengar kabar ini. Dia ada di sini. Ya, sekarang dia satu kampus dengan kita! Bagaimana aku tidak senang coba?” ujar Mirai sedikit berteriak.

“Dia? Dia siapa yang kaumaksud?” tanya Yamada masih belum mengerti dengan apa yang dikatakan Mirai.

“Yuto. Nakajima Yuto! Dia pindah ke sini. Dan, mulai sekarang, dia akan menjadi teman sekampus kitaaa!” ujar Mirai riang dengan senyum yang tak berhenti menghiasi bibirnya. “Kenapa kau diam saja? Apa kau tidak merasa senang?” tanya Mirai kemudian, yang akhirnya merasakan perbedaan sikap sahabatnya itu.

“Oh,t-tentu saja aku senang. Ya, apapun yang bisa membuat Mirai-ku senang, maka aku pasti akan turut senang," sahut Yamada, memaksa melengkungkan segaris senyum. Walau sebenarnya di dalam hati ia sedang cemas, resah, dan takut kehilangan sahabatnya itu-Mirai.

***

“A-apa?! Kenapa mesti aku?” tanya Yamada yang kaget usai mendengar permintaan aneh dari sahabat kecilnya itu.

“Oh, jadi kau tidak mau membantuku kali ini? Ternyata kau bukan Yamada yang bisa kuandalkan lagi!” kata Mirai mengeluarkan jurus 'ngambek'-nya. Dan, setiap kali Mirai mulai bertingkah seperti itu, Yamada pun akhirnya kalah. Ia paling tidak bisa membuat sahabat kecilnya itu bersedih.

“Baiklah, nanti akan aku sampaikan padanya. Sudah, jangan merajuk lagi... Aku tidak tenang melihat wajahmu cemberut seperti itu,” ucap Yamada menggaruk bagian belakang kepalanya dengan kikuk. Dan tak lama setelahnya, Mirai memeluk lelaki itu dengan erat. 

Begitulah Mirai. Tiap kali ia merasa senang, ia akan memeluk Yamada. Namun,  walaupun hal tersebut telah sering dilakukan Mirai pada Yamada, pemuda itu masih selalu canggung tiap kali lengan Mirai melingkari tubuhnya. Walaupun itu hanyalah pelukan sahabat dan tak bisa diartikan lebih.

***

Mirai terlihat begitu senang dan berbinar-binar hari itu. Bagaimana tidak? Lelaki pujaannya selama ini sekarang telah berada tepat di hadapannya. Ia tak perlu repot-repot lagi untuk menyalakan televisi setiap kali ingin memandang wajah tampan seorang Nakajima Yuto. Ya. Mereka bahkan tengah makan siang bersama sekarang!

Tentu saja ini bukan mimpi. Semuanya bisa terjadi berkat usaha sahabat kecil Mirai. Siapa lagi kalau bukan Yamada Ryosuke. Walaupun beberapa hari yang lalu Mirai mesti mengeluarkan jurus ngambek-nya dulu agar Yamada mau membantu. Ya, membantunya agar dapat berkenalan dengan sang bintang; Nakajima Yuto.

Di kejauhan, seorang lelaki menatap sedih ke arah Mirai dan Yuto. “Kalau itu yang membuat kau bahagia, aku akan merelakanmu, Pengantin Kecil-ku, ”bisik lelaki itu pada dirinya sendiri sambil tersenyum. Senyum yang memilukan. Berupa lengkungan patah.

***


Mirai berlari mengejar Yamada yang terlihat berjalan beberapa meter di depannya.

“Yama-chan!”

Pemuda berkacamata itu segera menoleh. “Kenapa?” tanyanya dengan nada datar. Kelihatan tak bersemangat sekali.

“Aku mau pinjam tugasmu, dong! Besok aku kembalikan, kok. Janji," kata Mirai dengan senyum yang merekah.

“Ini...”

Lagi-lagi pemuda itu berkata dengan nada datar. Namun, kali ini terlihat lengkungan di bibirnya. Walau begitu lemah dan tak setulus biasa. Ketika pemuda itu ingin melangkahkan kaki, Mirai kembali memanggilnya.

Chotto!

Langkah Yamada kembali terhenti. Tanpa berkata apa-apa lagi, Mirai segera menempelkan punggung tangannya yang mungil pada dahi sahabat kecilnya itu.

“Astaga! Kau sakit, Yama-chan!” ujar Mirai panik begitu merasakan suhu tubuh Yamada yang begitu hangat.

“Jangan terlalu dipikirkan. Ini hanya sakit biasa. Sebentar lagi juga akan sembuh,” ucap Yamada tersenyum untuk yang terakhir kali, sebelum melangkah pergi meninggalkan Mirai.

***


Saat sedang menyalin tugas milik Yamada yang baru saja dipinjamnya, Mirai tak sengaja menemukan secarik kertas yang terselip di sela-sela tugas milik  sahabatnya itu.



Ada waktu ketika kita ingin mengatakan sesuatu, tapi tak bisa
Dan waktu ketika kita tidak bisa jujur
Kita telah mengatasi itu ketika menangis
Dan sekarang kita bersinar dengan terang
Gambaran kebahagiaan yang kita miliki terlukis satu sama lain
Untuk menjadi satu cinta yang luar biasa
Mari hidup bersama selamanya

Seratus tahun dari sekarang, aku berjanji cintaku

Kau adalah segalanya bagiku

Percaya padamu, hanya percaya padamu
Seseorang yang akan berbagi waktu bersamaku


Tidak masalah apa yang ada padamu, tidak ada masalah apa yang ada padaku

Setiap bagian itu berharga bagiku

Selama aku memilikimu, aku tidak membutuhkan yang lain
Aku tahu kita akan berbahagia


Seratus tahun dari sekarang, aku berjanji cintaku

Kau adalah segalanya bagiku

Aku mencintaimu, hanya mencintaimu

Seseorang yang akan berbagi waktu bersamaku
Mari berjanji esok kita kan saling berbagi

Kau adalah satu dan hanya satu orang yang kupilih di seluruh dunia ini

Selama aku memilikimu, aku memiliki masa depan apapun akan selalu bersinar

 
Mirai tersenyum-senyum sendiri manakala membaca puisi romantis mahakarya sahabat kecilnya itu.

"Ah, ternyata anak itu sedang jatuh cinta... Kira-kira, siapa ya gadis yang sedang disukainya? Kenapa dia tidak pernah memberitahuku? Dia benar-benar curang!" gumam Mirai pada dirinya sendiri.

***

Yamada tak tahu lagi bagaimana mesti menjelaskan hal itu dengan sahabatnya. Perkara puisi, tentu saja. 

Ya, sudah seharian  Mirai tak berhenti mewawancarai Yamada hanya karena ingin tahu untuk siapa puisi itu ditulis.

Bagaimana mungkin Yamada bisa menjawabnya?

Yamada Ryosuke. Semua mahasiswa di kampus tahu bahwa dia adalah seorang yang cerdas. Tak ada yang bisa menolak anggapan tersebut. Namun, entah kenapa, saat diwawancarai Mirai mengenai puisi terkutuk itu, ia bisa berubah total menjadi manusia terdungu di muka bumi! 

Untunglah berkat kedatangan Nakajima Yuto, Mirai akhirnya sukses melupakan Yamada Ryosuke dan perkara puisi-nya. Ia melupakan sahabat kecilnya itu. Seolah Yamada tak ada di sampingnya lagi. Hanya ada dia dan Nakajima Yuto saja di sana. Menyadari hal itu, Yamada segera pulang dengan hati remuk.

“Mirai-chan, aku ingin mengatakan sesuatu yang penting padamu. Maukah kau pergi sebentar denganku?” tanya Yuto yang spontan dibalas Mirai dengan anggukan kepala. Dengan itu, Yuto pun segera menggandeng sebelah tangan Mirai. Diam-diam, Mirai mengulas senyum tipis. Lantas, keduanya pun pergi.

***

“Jadi begitulah…” tutur Mirai mengakhiri ceritanya. Ia segera melirik Yamada yang sibuk memain-mainkan sushi di piring.

“Baguslah. Sekarang kau mestinya berbahagia.  Akhirnya dia benar-benar menjadi kekasihmu. Kudoakan semoga kalian selalu bahagia,” ujar Yamada tertunduk lesu, masih menusuk-nusuk sushinya yang utuh dengan sumpit. Entah kenapa, selera makannya langsung menguap begitu saja manakala mendengar Mirai, Sang Pengantin Kecilnya, telah menjadi kekasih orang lain. Kekasih seorang superstar!

Arigatou,Yama-chan! Kau memang sahabatku yang paliiiing baik!” ucap Mirai sambil memeluk Yamada. Kebiasaan gadis itu yang tak pernah hilang manakala tengah di landa rasa bahagia yang luar biasa.

“Yama-chan, kau sakit lagi?” tanya Mirai  menatap Yamada dengan mata menyipit. Wajah Yamada belakangan itu memang sering terlihat pucat. Mata lelaki itu juga semakin cekung. Tak seperti biasa yang selalu berbinar. Ini aneh...

“Jangan menatapku seperti itu. Sudah kubilang, aku tidak apa-apa," sahut Yamada sambil mengacak-ngacak rambut gadis di hadapannya.

“Hmmm, aku dan Yuto besok pagi berencana untuk jalan-jalan ke pantai tempat kita suka bermain dulu. Apa kau mau ikut?”

“Tidak ,ah! Nanti aku hanya akan jadi pengganggu kalian saja. Kan tidak enak...”

“Tapi

“Sudahlah, ini kan kencan pertama kalian. Jadi, aku benar-benar tidak ingin jadi pengganggu, oke? Nanti, kalau kau ingin jalan-jalan denganku saja ke pantai itu, tentu aku mau. Tapi kali ini, giliran kau dan kekasih barumu saja," jelas Yamada bijak. Walau hatinya perih saat mengatakan itu. Walau hatinya remuk redam. Ia mencoba menyembunyikan itu semua dengan senyumannya. Senyuman palsu yang sayangnya tak disadari Mirai.

***

“Apa? Mirai-chan kecelakaan, Bi? Baiklah, aku akan segera menyusul ke rumah sakit sekarang!” ujar Yamada yang usai menutup telepon segera bergegas mengganti pakaiannya dengan yang lebih rapi dan segera melaju menuju rumah sakit.

Setiba di rumah sakit, ibu Mirai terus menangis pilu. Yamada mencoba menenangkan perasaan ibu sahabatnya itu. Walau tak dapat dipungkiri, hatinya pun cemas bukan main. Namun syukurlah, tak berapa lama kemudian Mirai berhasil melewati masa kritisnya. Yamada dan ibu Mirai setidaknya dapat bernapas sedikit lega. Akan tetapi,  perkataan dokter barusan amat membuat Yamada kesulitan bernapas. 

Mirai sekarang buta dan lumpuh...

Yamada tak kuasa mendengar hal itu. Mirai. Sang masa depannya yang kini seakan kehilangan masa depan. 

Jika diizinkan, ia rela menukarkan semua yang ia punya asalkan Mirai-chan Pengantin Kecil-nya dapat kembali seperti sediakala.

‘Andai saja tak pergi ke pantai itu’
‘Andai saja tak kencan hari itu’
‘Andai saja...’

Yamada terus berandai-andai dalam hati. Namun, tetap saja, semua telah terjadi. Tak ada gunanya lagi untuk disesali. Ya, tak ada yang bisa disesali...

“Bu, Ibu di mana?” ujar Mirai yang membuat hati Yamada kian remuk.

“Ibu di sini, Nak. Di sampingmu," sahut ibu Mirai, menggenggam erat tangan putri semata wayangnya sambil menangis.

“Tapi... kenapa semua gelap?! Kenapa Mirai tidak bisa melihat wajah Ibu dan Yama-chan?” tanya Mirai. Nadanya mulai berubah cemas.

“Maafkan Ibu, Nak. Kau tidak bisa melihat lagi akibat kecelakaan itu... Bahkan, kedua kakimu pun tak bisa berfungsi lagi. Kata Dokter, kakimu mengalami kelumpuhan permanen...” Kini ibu Mirai tak bisa lagi mengendalikan diri agar tetap tegar. Tangis perempuan paruh baya itu semakin menyayat perasaan Yamada yang berada di sampingnya.

“Tidak! Ibu bohong! Tidak mungkin!” Mirai berusaha menggerak-gerakkan kedua kakinya yang seakan membatu. Hati gadis itu benar-benar hancur. Namun, tiba-tiba ia seakan ingat sesuatu...

“Yuto. Yuto di mana, Bu? Apa dia baik-baik saja? Jawab, Bu! Dia tidak apa-apa, kan?” Kali ini Mirai semakin kalap. Dan ibunya tak mampu berkata sepatah kata pun. Malah tangis sang ibu semakin menjadi.

“Yama-chan, tolong jawab aku. Yuto di mana? Dia baik-baik saja, 'kan?” Giliran Yamada yang menjadi sasaran pertanyaan Mirai.

Tak sanggup melihat penderitaan sahabatnya, Yamada segera mendekap gadis itu. Erat. Erat sekali... Sampai ia bisa merasakan hangatnya airmata Mirai yang meresap di bajunya.

“Dia... tak tertolong. Dia telah pergi selama-lamanya, Mirai-chan. Kau harus merelakannya, ya...” bisik Yamada lirih di dekat telinga Mirai. Kedua lengannya masih mendekap gadis itu.

“Tidak! Tidak mungkin! Kenapa aku mesti hidup?! Kenapa aku yang mesti hidup dalam keadaan begini? Kenapa Tuhan tak mengambil nyawaku saja?" Gadis itu hampir tak bertenaga lagi. Ia terkulai dalam pelukan Yamada.  

Mirai sungguh tak percaya,  dalam waktu yang begitu singkat,  kehidupannya telah berubah menjadi setragis itu.

***


Gadis berkursi roda di taman rumah sakit itu tengah merenung memikirkan sesuatu. Sudah hampir sebulan ini, sahabat kecilnya, Yamada Ryosuke, tak pernah datang mengunjunginya. Padahal, ia rindu. Sungguh rindu betul. Biasanya dengan kedatangan sahabatnya itu, Mirai pasti selalu bahagia. Itu karena Yamada selalu berusaha menghiburnya. Walau pada kenyataannya, Mirai belum dapat menerima keadaannya sekarang sepenuhnya.

Ibu Mirai mengatakan bahwa barangkali Yamada tengah mendapat banyak tugas di kampus sehingga tidak sempat menjenguk.Mirai mencoba menerima pendapat ibunya itu.

Tak beberapa lama kemudian, dokter yang khusus menangani Mirai datang menemuinya. Membawa sebuah kabar gembira untuk sang gadis yang hampir kehilangan senyumnya itu.

“Dokter serius, kan? Saya akan dapat melihat lagi?” tanya Mirai masih terdengar ragu.

“Benar sekali, Shida-san! Anda patut bersyukur kepada Tuhan karena masih diberi kesempatan untuk melihat dunia kembali...”

***


Apakah sekarang Mirai benar-benar bersyukur pada Tuhan?

Kini Mirai bukanlah seorang gadis buta lagi. Ia bisa melihat! Namun, semuanya tak dapat membuat perasaan gadis itu membaik. Malah, kepedihan yang menghunjamnya semakin bertubi-tubi.

Mirai  menatap selembar surat yang ada di genggamannya dengan tangis yang ditahan sejak tadi. Kertas itu sudah sepenuhnya basah akibat tetesan air matanya. Namun, itu semua belum cukup menghilangkan kepedihannya yang begitu dalam.

Bergetar. Tangan gadis itu bergetar. Ia  menggenggam kertas itu sekuat mungkin.  Hatinya tersayat-sayat. Perih. Segala perasaan kelam merasukinya.


Mirai-chan...
Selamat melihat dunia yang indah lagi, ya...
Aku tahu kau amat menderita dengan cobaan yang datang bertubi-tubi dalam hidupmu akhir-akhir ini.
Kau mesti lumpuh dan buta, serta kehilangan orang yang begitu berarti untukmu; Nakajima Yuto... 

Aku ingin meringankan sedikit penderitaanmu. Oleh sebab itu, aku memutuskan untuk mendonorkan mataku untukmu.
Aku juga tahu kalau hidupku tidak akan lama lagi. Aku mengidap kanker otak sudah setahun ini. Itulah yang menyebabkan wajahku selalu pucat. Aku sengaja merahasiakan hal ini padamu. Itu karena aku tidak ingin gadis yang aku sayangi bersedih.

‘Ada waktu ketika kita ingin mengatakan sesuatu, tapi tak bisa
Dan waktu ketika kita tidak bisa jujur...’

Kau tentu masih ingat dengan beberapa baris puisi yang pernah kubuat ini, kan? Sekarang kau tidak perlu bertanya-tanya lagi siapa orang yang aku sukai.  Orang itu adalah SHIDA MIRAI
  
Aku benar-benar menyukaimu, bahkan sejak kita masih kanak-kanak aku selalu ingin melindungimu. Tapi, aku terlalu bodoh dan tak tahu cara untuk mengungkapkannya.
Dan, sekarang aku dapat pergi dengan tenang, karena orang yang kusayangi dapat melihat lagi. Melihat dunia yang begitu indah ini...

Hanya satu pesan terakhirku; jangan pernah lupakan aku

Walaupun aku tidak dapat tertawa dan bercanda bersamamu lagi, namun melalui mataku yang kini menjadi matamu, aku akan menemanimu sepanjang   jalan hidupmu... 

'Kau adalah satu dan hanya satu orang yang kupilih di seluruh dunia ini 

Yamada Ryosuke


-Owari-





Cukup

Minggu, 26 Mei 2013

Menganga...
Luka itu semakin lebar
Tak perlu rasa iba itu!
Tak perlu kepura-puraan itu!
Sama sekali tak perlu!
Gadis itu hanya butuh ketulusanmu, Sobat...

Namun, semua terlambat sudah
Cahaya hidup itu telah redup
Kau telah meluluhlantakkan sesuatu yang sesaat lalu menghidupkannya
Sesuatu yang kau kira akan mudah ia dapatkan lagi

Jangan tunjukkan sandiwara itu lagi
Biarkan ia mati tenang dalam keputusasaan takdir yang mempermainkannya
Pada tempat yang seumur hidup tak pernah diinginkan



Hitam Tak Selalu Kelam


Aku sangat menikmati saat-saat seperti sekarang. Bercanda dan berbagi keluh kesah bersama keempat teman dekatku di belakang sekolah ketika jam istirahat. Menikmati berbagai bunga yang mulai bermekaran di awal September. Sesekali, kami melihat kupu-kupu berterbangan memamerkan sayap indahnya di sekitar bunga-bunga mawar, anggrek dan melati.
Sejak tadi aku hanya duduk terdiam menatap mega yang berarak. Menaikkan kedua sudut bibir, seakan membalas sepotong senyum yang terukir indah pada mega yang putih lembut. Sesaat kurasakan angin sejuk membelai pelan kulitku dan menyusup masuk melalui pori-pori. Membuatku tersadar dari lamunan panjang.

Kutatap keempat sahabatku yang masih asyik berbincang-bincang tanpa menyadari kebungkamanku. Sesekali, mereka tertawa. Akan tetapi tak jarang pula mereka begitu tegang dan serius. Keempat sahabatku tersebut adalah Errie, Alya, Winny, dan Indah. Errie adalah sosok cewek yang lumayan tomboi. Ia begitu benci jika salah seorang di antara kami mendiskusikan perihal 'cinta' dan 'cowok' padanya.

Bertolakbelakang dengan Errie, Alya amat senang sekali apabila membahas tentang sederet cowok-cowok incarannya, terutama padaku. Alasannya, aku merupakan pendengar yang baik. Tak tahukah ia bahwa di dalam hati aku selalu meratapi  nasibku yang malang kala ia kembali mengisahkan cerita yang sama  untuk ke seribu kali?

Kalau Winny… hmm, dia tipe teman yang lumayan menyenangkan dan penuh humor. Dan yang terakhir adalah Indah. Seperti namanya, ia merupakan gadis yang begitu indah dengan segudang prestasi, baik di bidang akademik maupun non akademik.

“Bella, coba lihat!” ujar Winny mengagetkanku. Aku pun segera memandang ke arah yang ditunjukkan Winny.

Rupanya Della dan pacar barunya, Radit. Mereka berada pada jarak beberapa meter dari kami saat ini.

“Mesra sekali ya," celetuk Alya yang tak mengalihkan pandangan sedikit pun pada Della dan pasangan barunya itu.

Entah kenapa hatiku begitu sakit setiap kali menatap Della. Napasku pun mendadak sesak. Dendam dan benci telah meracuni hatiku.

Della adalah gadis yang begitu cantik, berambut ikal sepinggang, berbulu mata lentik, berhidung bangir, tinggi ramping, dan juga cerdas. Benar-benar tipikal gadis impian semua cowok! Sehingga aku harus tegar menerima kenyataan bahwa Ryo akhirnya menjadi pacarnya. Sejak saat itulah, kebencianku pada Della resmi dimulai.

Ryo adalah teman sekelasku yang begitu aku sukai. Namun, tampaknya cintaku tak berbalas. Ryo lebih memilih Della dibandingkan aku, gadis berpenampilan apa adanya tanpa sesuatu yang istimewa. Akan tetapi, sayangnya pilihan Ryo untuk berpacaran dengan Della sangat tidak tepat. Sebab Della akhirnya mencampakkan Ryo setelah hanya sekitar dua minggu berpacaran. Dan kini Della berpacaran dengan Radit, cowok yang belum lama ini pindah ke sekolahku. 

Aku benar-benar kesal dan marah pada Della. Tak seharusnya dia mempermainkan lelaki dengan kecantikan yang ia miliki. Benar-benar keterlaluan! 

Ryo seharusnya lega, sebab kini aku tak perlu mengejar-ngejar cintanya lagi, walaupun untuk sementara ini ia berstatus sebagai jomblo. Sekarang aku telah memiliki pacar. Namanya Kevin. Pemain basket andalan sekolah kami. Aku tak pernah mengerti kenapa Kevin bisa menyukai gadis tak menarik sepertiku. Barangkali matanya telah rabun saat ia memintaku untuk menjadi pacarnya.

Aku tahu tak terhitung banyaknya para pengagum Kevin yang menangis saat mengetahui aku dan Kevin berpacaran. Bahkan, mereka tak pernah berhenti membicarakan kebodohan Kevin yang berani memacari gadis tak menarik sepertiku.

***


Kini, di akhir Septemper yang mendung, Indah mengunjungiku. Wajahnya kelihatan sendu. Tak pernah sebelumnya kulihat ia semurung ini.

“Aku benci Ryan, Bel. Benci sekali. Dia begitu cuek!  Benar-benar pangeran berhati batu! Cewek mana yang tidak akan sakit hati saat mendapati kenyataan bahwa sang pacar tidak mengingat hari ulang tahunnya sama sekali?!” keluh Indah padaku. Kulihat butiran bening mulai mengalir melewati pipi mulusnya.

Aku hanya bisa terdiam. Tak tahu harus berkata apa untuk menghibur sahabatku ini. Namun, setelah puas menangis, Indah menatapku tajam. Tatapannya sungguh membuatku merasa tak nyaman. Aku berdebar menunggu sesuatu yang akan diucapkannya. Akhirnya, Indah tersenyum walau cuma berupa lengkungan patah. Namun itu sudah cukup melegakanku.

“Bel, aku punya ide cemerlang untuk kebaikan kita.”

“Untuk kebaikan kita?”

“Ya," ucap Indah dengan senyum yang kian lebar.

Aku semakin tak mengerti. Namun, aku berusaha tetap sabar menunggu penjelasan Indah lebih lanjut tentang ide cemerlangnya itu.

“Bagaimana kalau kita bertukar pasangan?”

Ide cemerlang Indah cukup membuat napasku berhenti untuk sesaat. “Maksudmu?”

“Hm, maksudku, bagaimana kalau aku berpacaran dengan Kevin dan kau berpacaran dengan Ryan? Karena selama ini kita sama-sama sering mengeluhkan pacar kita masing-masing. Kau mengeluhkan Kevin yang terlalu perhatian denganmu sehingga membuatmu risih, sedangkan aku selalu mengeluhkan Ryan yang jarang peduli bahkan cenderung cuek denganku,” tutur Indah menjelaskan sambil tak berhenti menatapku. “Kurasa, ini adalah ide yang tepat untuk kita! Karena aku senang diperhatikan dan kau lebih menyukai cowok yang cuek, kan?” lanjut Indah.

Aku hanya diam tanpa berani menatap mata Indah. Kugigit bibirku kuat-kuat. Sulit bagiku untuk menolak ide cemerlang Indah itu. Sebab, Indah adalah sahabat dekatku. Kedekatanku dengannya melampaui kedekatanku dengan Errie, Winny, maupun Alya. Walaupun kedengarannya cukup sulit, namun aku akhirnya merelakan Kevin demi Indah, sahabatku.

***

Sabtu siang, sepulang sekolah, aku mengajak Kevin untuk bertemu di lapangan basket. Saat itu cuaca agak mendung. Tampaknya akan hujan sebentar lagi. Kevin berlari kecil ke arahku. Wajahnya begitu ceria, mengalahkan mendung yang semakin kelam.

“Sepertinya ada yang penting ya, Bel? Tidak biasanya kau mengajakku bertemu seperti sekarang...”

“Vin…,” panggilku tanpa berani menatapnya.

“Ya?" sahutnya.

“Aku ingin kita putus..." ujarku diiringi meluncurnya butiran air mata.

“Putus, Bel?! Alasannya?”

Aku menggigit bibir. Seketika ada kabut di wajah Kevin yang semula begitu ceria.

“Kita tidak cocok. Lagipula, sahabatku, Indah, amat menyukaimu. Aku lebih bahagia melihat kalian bersama. Sebab, kalian begitu serasi. Daripada melihatmu terus bersamaku, hanya akan merepotkan kupingmu mendengar cemoohan orang-orang...”

“Tapi Bel, aku tidak suka dengan Indah. Aku menyukaimu! Tidak peduli orang mau bilang apa. Aku akan tetap menyukaimu.”

“Vin, kalau kau benar-benar menyukaiku, pasti kau akan melakukan segala sesuatu yang aku minta, kan? Dan sekarang, aku hanya minta padamu untuk menjadi pacar Indah.”

“Tapi…,”

“Ah, sudahlah, Vin! Ternyata kau tidak serius menyukaiku. Makanya kau tidak mau mengabulkan permintaan aku, ya, kan?”

Kevin terdiam. Langit semakin mendung. Dan tetesan hujan mulai terasa membasahiku.

“Baiklah. Aku pulang dulu, Vin. Terima kasih untuk semuanya...”

Maka, aku berlalu meninggalkan Kevin seorang diri di lapangan basket.Dalam hati, aku berharap Kevin akan berteriak memanggil namaku, berlari mengejarku, dan menyuruhku untuk tidak meninggalkannya. Namun, harapanku itu sayangnya tidak menjadi kenyataan.

***


Sejak pertemuanku dengan Kevin di lapangan basket, aku kini sering mendapati Kevin dan Indah berjalan bersama. Mereka kelihatan begitu akrab. Dan aku tak tahu apa yang telah Indah katakan pada Ryan, sehingga dua hari yang lalu Ryan memintaku untuk menjadi pacarnya. Kini, tampaknya ide Indah telah berjalan dengan sukses! 

Tak terasa, dua bulan berlalu begitu cepat. Hubunganku dan Ryan berjalan dengan baik. Kecuekan Ryan tak membuatku kehilangan nyawa sebagaimana Indah, karena pada dasarnya aku memang menyukai cowok yang cuek.

Menurut informasi yang kudapat dari Alya, Indah dan Kevin telah resmi berpacaran sebulan yang lalu. Aku tak tahu harus senang atau sedih mendengar kabar itu. Dan sejak berpacaran dengan mantan pacarku, Indah selalu menghindariku. Kenyataan ini sungguh menyakitkan.

Aku seperti terserang penyakit aneh setiap kali melihat Indah dan Kevin berjalan bersama. Aku tak cukup kuat mendengar sanjungan yang terlontar dari mulut orang-orang tentang betapa serasinya Indah dan Kevin. Mereka sama-sama keren, pintar, dan populer...

Della melirikku tiap kali aku terpaku menatap Indah dan Kevin yang tengah berjalan bersama. Kemudian dia akan memberikan  sebuah senyum penuh ejekan padaku. Aku benci saat Della merayakan kesedihanku dan menghadiahkan aku senyuman penuh hinaan. Aku benci!

Aku benci segala sesuatu menyangkut Della; Si Nenek Sihir. Julukan baru yang kurasa tepat ia dapatkan, karena ia bisa seenaknya menyihir cowok-cowok menjadi seperti apa yang ia mau.

Kenyataan bahwa aku memiliki nama yang hampir sama dengannya semakin mempertebal kebencianku. BELLA dan DELLA. Namun, selain dari sedikit kesamaan nama tersebut, kami merupakan dua pribadi yang sangat bertolak belakang. Kami ibarat langit dan bumi yang tak akan pernah menyatu sampai kapan pun!

***


Aku terdiam mendengar penuturan Winny dan Alya tentang hubungan antara Indah dan Kevin. Menurut mereka, Indah dan Kevin saling menyayangi, dan mereka melarangku untuk mengganggu hubungan antara pangeran dan putri sekolah itu. Namun, aku ingin Kevin kembali ke sisiku. Baru kusadari ternyata aku teramat menyayangi Kevin, melebihi rasa sayangku terhadap Ryo yang merupakan cinta pertamaku.

“Bel, aku tidak mungkin jadi pacarmu lagi. Karena sekarang,aku benar-benar menyukai Indah. Dan perlu kau ketahui, rasa sayangku padanya melebihi rasa sayangku padamu dulu," ucap Kevin siang itu, selepas pulang sekolah.

Dadaku nyeri tiap kali ingat kata-kata itu. Mungkin aku memang harus berbahagia menjadi pacar Ryan sekarang. Namun, beberapa hari ini aku tak menerima kabar dari Ryan. Tak seperti biasa. Ia selalu mengirim SMS padaku minimal tiga kali sehari. Ya, begitulah Ryan. Walaupun terkesan cuek, ia tak pernah lupa mengirimiku SMS setiap harinya. 

Menurut Ryan, akulah pacar terbaik yang pernah ia miliki, yang selalu berusaha untuk mengerti dia. Untuk itulah ia selalu perhatian padaku.

Kekhawatiranku pada Ryan akhirnya terjawab. Rabu siang, Errie meneleponku. Ia mengatakan bahwa Ryan meninggal akibat overdosis mengonsumsi heroin. 

Seluruh tubuhku gemetar. Tangisku pecah. Dan ini bukanlah tangis seseorang yang kehilangan kekasihnya, melainkan tak lebih dari tangis kehilangan sahabat terbaik. Sahabat yang selalu menemani hari-hariku. Kini pelangiku tak lagi indah karena satu warna telah lenyap tak berbekas.

Kematian Ryan telah menjadi bahan perbincangan yang mengasyikkan bagi teman-temanku beberapa hari ini. Aku benci tiap kali mereka berbicara tentang Ryan. Aku tak kuat mendengar mereka berbicara seolah-olah Ryan adalah teroris paling berbahaya yang harus dibunuh dengan cara ‘ditembak mati’.

Tak ada seorang pun yang bisa kuajak bicara. Sebab, semenjak kematian Ryan, teman-teman sekelasku memandangku layaknya seorang pembunuh berdarah dingin. Atau barangkali mereka takut dan jijik mendekatiku, karena menganggapku sebagai seorang pembawa sial. 

Penolakan terhadapku rupanya tak cukup hanya sampai di kelas. Winny, Alya, Errie, dan Indah juga menghindariku. Seakan aku virus ganas yang mematikan. Tak ada yang bisa membuatku merasa lebih sedih daripada dikucilkan dan dijauhi sahabat-sahabat terdekat.

Otakku tak henti-hentinya memikirkan alasan yang paling tepat, yang membuat seluruh murid di sekolah kompak menjauhiku. Apa mungkin mereka mengira bahwa akulah yang telah merusak hidup Ryan dan menyeretnya ke dalam kegelapan? Menjerumuskan dan mengenalkannya pada obat-obat terlarang yang akhirnya mencabut nyawanya? 

Entahlah. Aku pusing demi memikirkan berbagai alasan  kenapa mereka membenciku. Yang aku tahu, hanya segelintir orang yang berduka atas kepergian Ryan. Bahkan Indah terlihat biasa-biasa saja saat mengetahui kematian Ryan yang adalah mantan kekasihnya.

Kini hari-hariku suram. Aku benci dengan keadaan yang harus kuhadapi sekarang. Nilai-nilaiku menurun drastis. 

Aku tahu,  kala aku menangis di kelas,  Della sering memerhatikanku. Aku yakin,  saat ini ia pasti amat berbahagia atas penderitaan yang kualami. Dan aku tak akan sudi melihatnya! Sebab, sudah pasti gadis itu hanya akan menghadiahkan berjuta-juta senyum sinis yang kurasa sanggup membunuhku seketika.


Onggokan sepi merayap rupa
Kerikil hampa penuhi hati
Terhempas kekosongan yang menggunung
Alunan nada ceria hentikan denyut jantung
Variasi warna menebar tak terhiraukan
Ingin raib, ingin musnah, ingin tiada…
Agar tak kumiliki hampanya hati
Menara sendu berdiri anggun
Ejaan sepi pun tak lagi terbaca
Tidur saja senang itu!
Agar kelabu erat menyatu dengan kesunyian
Lingkaran tawa mengurung hampa
Opini tentang bahagia terhanyut sudah
Venus tersenyum dalam kemenangannya
Akan kekosongan yang terpantul di seraut wajah
Irama kesepian hanya berdetak di kisi-kisi hati yang mengkristal...


Aku menatap puisi yang baru saja kubuat. Dari kedua sudut mataku, mengalirlah butiran bening yang sejak tadi tertahan. Kutatap kupu-kupu yang menari-nari penuh kebahagiaan mengejekku serta bunga-bunga yang penuh keanggunan menertawakan kemalanganku.

Di belakang sekolah inilah aku bisa menangis sejadi-jadinya. Berbagi keluh kesah pada bunga-bunga yang bermekaran serta  pada kupu-kupu yang menari riang. Namun, seketika aku terdiam kala mendengar ketup langkah  mendekat ke arahku.

“Kurasa... ini akan begitu kau perlukan saat ini," kata seseorang di belakangku sambil menyodorkan sebentuk saputangan indah berwarna biru pucat. 

Aku memberanikan diri membalikkan tubuh untuk menatap pemilik saputangan itu. Mungkin aku lebih percaya bahwa matahari besok akan terbit di sebelah barat dan terbenam di sebelah timur daripada apa yang kulihat sekarang!

Tepat di belakangku, Della tersenyum sambil masih menyodorkan saputangannya. Dengan ragu, akhirnya aku mengambil saputangan itu dan mengusap airmataku.Tanpa kutawari, Della segera duduk di sampingku.

“Dulu, aku telah kenyang menghadapi keadaan seperti yang kau alami saat ini. Dikucilkan dan kesepian..." 

Mata Della yang bulat tak hentinya menatapku. “Dan sekarang… aku tak mungkin membiarkanmu menghadapi masa-masa sulit ini sendirian, seperti halnya aku dulu..."

Della tersenyum padaku. Kali ini bukanlah senyum penuh ejekan dan hinaan. Tiba-tiba, wajah Della yang biasanya terlihat seperti nenek sihir di mataku, kini begitu menyejukkan. Dan kini, aku dapat melihat dengan jelas sepasang sayap putih melekat di belakang tubuhnya. Ia memelukku. Hangat. Penuh persahabatan. Membuatku tak ingin lepas dari pelukannya. 

Kutatap mega yang bergerak tertiup angin. Pada gumpalan putih itu aku telah mengatakan semuanya. Bahwa dunia ini terus berputar. Dan sahabat-sahabat terdekatmu suatu saat akan pergi meninggalkanmu satu persatu dengan goresan luka. Bahkan tak menutup kemungkinan mereka akan membunuhmu. Begitu pula, seseorang yang kau anggap musuh, suatu saat bisa saja mengobati luka-luka hatimu dengan sejuta kasih sayang yang tak pernah terbaca olehmu, karena hatimu diselimuti kabut dengki dan kebencian.

Maka temukanlah sahabat yang terbaik bagi hatimu, tanpa melihat apa yang dapat dilihat oleh matamu.



—Selesai—


(Cerita ini ditulis ketika sedang duduk di bangku SMA kelas XI dalam rangka lomba menulis cerpen yang diadakan sekolah. Masuk kategori 5 besar cerpen terbaik di sekolah kala itu).