Dreams (Hey! Say! JUMP Fanfiction)

Author: Wintervina
Genre : Friendship
Cast :Kei Inoo (HSJ), Yamada Ryosuke (HSJ), and Nakajima Yuto (HSJ)
Type  : Oneshoot

 -----------------------------------------
Guyuran hujan dan angin kencang tak menghentikan lari pemuda bertubuh pendek itu. Ia seakan berlari dari kenyataan yang selalu mengimpitnya. Kenyataan yang menghadirkan sebuah kata ‘iri’ di hatinya.

Seketika larinya terhenti dan matanya yang sembab menangkap sesosok lelaki yang tengah duduk di tempat duduk favoritnyadi tamandi bawah pohon sakura yang berdahan rindang itu.

Ragu, pemuda itu berjalan menuju kursi favoritnya. Perlahan ia duduk di pinggiran lain kursi itu, khawatir jika gerakannya mengusik pemuda yang duduk di sebelah.

Hening. Keadaan sungguh hening.  Anak lelaki itu terus mendengar suara jantungnya saja yang sejak tadi masih berdebar hebat. Dadanya terasa sesak. Lantaran pertengkaran konyol itu. Pertengkaran yang seharusnya tak akan terjadi kalau saja ia bukanlah ia yang sekarang.

Ia menatap langit hitam yang masih setia mengguyurnya dengan rintikan hujan. Hujan yang tiap butirnya selalu disambut riang dan sukacita oleh dirinya dan sang sahabat di masa kecil dulu. Namun, mungkin hal tersebut tak berlaku lagi saat ini. Ia hanya menatap langit hitam yang terus menangis itu dengan senyum kecut.

Sahabat? 

Entah kenapa, ia belakangan ini begitu membenci kata itu. Pemuda bertubuh pendek itu menghela napas sebelum kemudian memungut satu helai daun sakura yang baru saja jatuh di kursi di mana ia duduk. Ia memutar-mutar helaian daun sakura itu dengan kedua telapak tangan. Ia tak menyadari bahwa apa yang ia lakukan itu menarik perhatian pemuda yang sejak tadi duduk di sebelahnya.

“Kau sedang ada masalah?” tanya pemuda yang sudah lebih dulu berada di taman tersebut.

“Ha?” pemuda bertubuh pendek itu menoleh seketika pada pemuda di sampingnya.

“Kau-sedang-ada-masalah?” pemuda yang duduk di sebelahnya tersebut mengulangi pertanyaan dengan memberi penekanan pada setiap kata yang diucapkan.

Anak bertubuh pendek itu menatap saksama wajah lawan bicaranya. Ia melihat ada bias keramahan di wajah pemuda tersebut. Entah kenapa, hasrat ingin menceritakan permasalahannya pada pemuda yang baru dikenalinya itu begitu kuat.

“Sebenarnya, ini bukanlah masalah yang cukup serius. Hanya petengkaran kecil dengan sahabatku," ujar pemuda itu menundukkan wajah dengan jari-jari yang tetap memutar-mutar helaian daun sakura.

“Jika hanya masalah kecil, kenapa kau memasang tampang semuram itu? Dengarlah, sebuah persahabatan ada kalanya diuji. Jika kau dan sahabatmu itu bisa melewati ujian tersebut, maka ke depannya persahabatan kalian pasti akan jauh lebih erat lagi dibandingkan sebelumnya.”

Pemuda bertubuh pendek itu mulai merobek-robek helaian daun sakura di tangannya. Kembali ia menyesal menjadi dirinya yang tak berguna. Andai saja ia tak terlahir dengan otak yang bodoh, andai saja ia cukup pintar matematika, dan andai saja ia selalu juara kelas...

Namun, semua itu hanya akan senantiasa menjadi pengandaian baginya yang dalam kehidupan nyatasemua itusemua yang tidak ia punyai hanya dimiliki oleh sahabat karibnya; Nakajima Yuto.

Di sekolah, Yuto selalu disanjung oleh para guru serta diidolakan oleh banyak gadis. Sedangkan di rumah si pemuda pendek, orang tuanya selalu membanding-bandingkan prestasi Yuto yang cemerlang dengan dirinya yang hanyalah biasa dalam segala hal. Jadi, satu hal yang dapat disimpulkan dari semua itu adalah; ia IRI.

Dengan segenap kesadaran dan dengan teramat jelas ia katakan bahwa ia IRI pada sahabatnya, Nakajima Yuto! Dan ia benci mengingat bahwa dari segi apapun, Yuto selalu mengalahkannya. Selalu. Sungguh, ia jenuh hanya selalu menjadi bayang-bayang dari ketenaran Yuto. 

Walau hanya sekali, ia ingin pula merasakan berada di posisi Yuto, atau bahkan lebih. Namun, ia sadar dengan kemampuan yang ia miliki saat ini. Semua serasa hanyalah impian yang terlalu mewah baginya.

“Aku paling tidak suka pelajaran matematika. Karena aku paling lemah dalam hal berhitung. Jadi, tidak salah kan aku meminta tolong padanya agar membagikan jawaban ulangan padaku? Tapi yang membuatku kesal setengah mati, ia sengaja tak memberikan jawabannya padaku. Sehingga  sudah bisa ditebak dengan jelas, aku tak bisa mengerjakan satu soal pun tadi,” tutur pemuda bertubuh pendek itu yang entah kenapa bercerita dengan lancar pada pemuda di sampingnya tentang perkara yang sedang dialami.

“Aku juga akan melakukan hal yang sama dengan sahabatmu jika aku berada di posisinya.”

Pemuda bertubuh pendek itu menatap nyalang ke arah pemuda di sampingnya.

“Kautahu, dia melakukan itu karena dia begitu menyayangimu,” lanjut pemuda itu lagi.

“Bukan! Dia bukannya sayang, tapi pelit!”  pemuda pendek itu berkata dengan nada tinggi.

“Hei, kau tahu, dia pasti berharap agar kau lebih serius belajar dan tak terus-terusan mengandalkan dan mengharapkan bantuannya.”

“Tapi… masalahnya aku tak sepintar dia. Aku ini bodoh, aku tidak berguna, aku"

“Cukup. Aku paling tidak suka orang yang hanya bisa mengasihani dirinya sendiri tanpa berusaha untuk memperbaiki kelemahannya.”

“…”

Pemuda bertubuh pendek itu meremuk-remuk helaian daun sakura di genggamannya hingga tak berbentuk lagi.

“Kautahu, aku paling lemah pelajaran bahasa Inggris. Namun, itu tidak membuatku untuk pasrah begitu saja. Dengan giat, aku belajar bahasa Inggris setiap hari. Berharap kelak aku akan fasih berbahasa Inggris."

“…”

Pemuda bertubuh pendek itu masih terdiam.

“Kau lihat rintik-rintik hujan ini? Mimpiku adalah sebanyak rintik hujan ini. Beberapa telah terwujud, seperti halnya mimpi kecilku dulu, ingin masuk Universitas Meiji. Dan, aku masih terus berharap dan berusaha agar mimpi lainnya juga segera terwujud,” ujar pemuda bertubuh lebih tinggi itu sembari tersenyum menatap langit yang semakin hitam.

Sugoii! Kau kuliah di Universitas Meiji?” pemuda bertubuh pendek itu menatap kagum pada lawan bicaranya.

“Kau juga dapat melakukan itu jika kau percaya pada kekuatanmu. So, don’t give up!” balas pemuda tersebut sambil berdiri dan bersiap-siap untuk meninggalkan taman.

Chotto matte!

Pemuda tersebut menghentikan langkahnya dan menatap tak mengerti pada anak lelaki bertubuh mungil yang masih terduduk di bangku taman.

“Kita telah banyak bercakap-cakap sejak tadi, namun belum mengenal satu sama lain. Aku Yamada Ryosuke. Kau bisa memanggilku Yama-chan.”  Pemuda imut itu mengulurkan tangan diiringi senyum tulus dari bibirnya.

“Kei Inoo desu. Kau boleh memanggilku Inoo-chan. Senang berkenalan denganmu,Yama-chan,” sahut si pemuda yang berambut ikal sambil menjabat tangan lawan bicaranya.

~**~

Enam bulan telah berlalu, sejak pertemuan Yamada dengan pemuda dari Universitas Meiji bernama Kei Inoo itu.

Hampir setiap sore Yamada duduk di bangku favoritnya di taman, tempat ia pertama kali bertemu dengan Kei Inoo. Orang yang secara tak langsung telah mengubah dirinya menjadi seperti sekarang.

Namun, kali ini ia tak sendiri mendatangi taman itu. Ia ditemani oleh sahabatnya. Siapa lagi kalau bukan Nakajima Yuto. Ya, kini ia merasa tak salah lagi kata ‘sahabat’ itu diperuntukkan bagi seorang Nakajima Yuto. Sebab, seperti yang pernah Kei Inoo katakan padanya, bahwa sesungguhnya Yuto menyayanginya melebihi apapun. Selama enam bulan ini, Yuto selalu mendukung Yamada hingga ia menemukan dirinya yang sekarang.

Kini, semua orang mengenal Yamada Ryosuke bukan sebagai tukang tidur di kelas, bukan sebagai orang yang selalu membuntuti Nakajima Yuto,dan bukan sebagai orang yang selalu mendapat nilai terendah dalam pelajaran matematika. Sekarang, jika mendengar nama Yamada Ryosuke, yang orang bayangkan adalah sosok pemuda dengan sederet prestasi di sekolah, baik di bidang akademik maupun non akademik.

Sekali lagi, Yamada harus berterima kasih pada Kei Inoo. Kalau bukan karena lelaki itu yang meyakininya, mungkin semua mimpi kecil Yamada tak akan pernah bisa mewujud nyata seperti sekarang.

“Kau masih menunggunya?” tanya Yuto memecah keheningan di antara mereka. Ia menatap wajah Yamada yang tengah asyik memutar helaian daun sakura.

Yamada memandang Yuto. “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih padanya,” sahut pemuda itu dengan segaris senyum lemah terhias di bibir.

Akhirnya, kedua sahabat itu terus berada di taman sampai langit memuntahkan rintikan hujan, yang dari semenjak mereka kecil hingga remaja seperti sekarang sangat mereka sukai. Keduanya tersenyum. Merasakan dan menyambut tiap rintik hujan seperti mimpi-mimpi yang selalu mengiringi kehidupan mereka.

Sementara di tempat lainKei Inoopemuda yang senantiasa ditunggu oleh Yamada setiap hari di taman, pemuda yang diselimuti mimpi-mimpi dan harapan itu, kini tengah meregang nyawa. 

Leukemia yang Inoo derita harus menghentikan perjalanannya mengejar mimpi-mimpinya di dunia. Namun, ketika rintik-rintik hujan kian membasahi seluruh permukaan tanah, ia tersenyum. Senyum yang penuh rasa bahagia. Bahagia karena melepas segala mimpi-mimpinya, sebagaimana langit yang melepaskan rintik-rintik hujan sore itu.

~**~

-Owari-








Bagikan Yuk :




Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar