TRUTH # 4


Author : Wintervina
Genre  : Romance
Cast    : Mikako Tabe as Kiyomizu Yuki, Yamada Ryosuke (Hey! Say! JUMP),  Haruma Miura, and Sawajiri Erika.
Type   : Multi-chapter

---------------------------------------------------------------------------------



Chapter  4



[Author’s POV]


Sunyi. Hanya ada helaan nafas yang terdengar di ujung keputusasaan yang mengalun semakin jelas. Dan itu adalah keputusasaan seorang Miura Haruma. Dan satu kalimat yang baru saja terlontar dari gadis yang begitu ia sayangi mampu membuat jantungnya berhenti berdetak untuk beberapa detik. Sakit sekali. Baru kali ini ia jatuh cinta dan kenapa rasanya sesakit ini? “Karena...aku telah memiliki orang lain yang kusukai...,” ujar Yuki yang membuat napasnya sesak.

Sekuat tenaga ia membendung air matanya yang sudah di ujung pelupuk matanya. Ia tidak boleh menjadi egois demi perasaannya. Ia mengumpulkan kekuatan itu walau bagai menangkap udara dengan kepalan tangannya yang jelas saja mustahil besar. Alih-alih tersenyum manis, ia malah menampakkan wajah menyedihkan yang paling tolol yang pernah dilakukan seumur hidupnya.

“Ah, selamat untukmu Yuki. Semoga kau mendapat kebahagiaan yang lebih bersama orang yang kau sukai itu,” ujarnya mencoba terdengar tenang walau suaranya kentara bergetar. “Dan juga terima kasih karena telah menemani hari-hariku selama ini”. Ia mencoba menguatkan diri menatap gadis berambut panjang yang masih berdiri tegak di hadapannya walau kakinya seakan tak lagi menapak di tanah dan mungkin raganya dapat dengan mudah diterbangkan angin saat itu juga.Sementara Yuki yang tak kalah sedih dapat melihat dengan jelas refleksi dirinya dalam bola mata Haruma. Ya, jelas sekali.

Haruma bersiap menaiki sepedanya. Sekali lagi ia menatap Yuki dan tersenyum—mungkin jauh lebih tepat dikatakan mencoba untuk tersenyum. Karena tak akan ada orang waras yang mengatakan seseorang tersenyum apabila tak ada sedikit pun lengkungan yang terbentuk di bibir orang itu.

Sayonara, Yuki-chan...,” ujarnya yang kemudian mengayuh pelan sepedanya menjauhi gadis berambut panjang yang menatap sedih kepergiaannya. “Sayonara, Haru-kun...,” gumam sang gadis pelan bagai ditelan riuhnya suara angin. Ia masih tak beranjak dari tempat di mana ia berdiri sebelum akhirnya punggung Haruma tak terlihat sedikitpun lagi dari pandangannya.

Sementara itu Haruma dengan segala kesedihannya mengayuh sepeda dengan tak bersemangat dan tak memperhatikan arah jalan. Hingga di persimpangan, sebuah mobil yang membelok ke kiri menghadang jalannya. Haruma yang kaget tak mampu lagi untuk mengelak. Ia pun terpelanting beberapa meter setelah tertabrak mobil tersebut sementara sepeda putih kesayangannya hancur dan bagian-bagiannya berserakan di badan jalan.

Haruma dapat merasakan seluruh badannya sakit sekali. Dadanya bagaikan terhimpit berton-ton besi yang membuat ia tak leluasa bernapas. Ia merasakan sesuatu yang hangat dan lengket serta berbau anyir mengalir membasahi permukaan tubuhnya. Ia tak dapat membuka matanya. Yang terlihat dan terlintas jelas di benaknya hanya wajah Yuki yang sedang tersenyum. Tanpa sadar bibirnya yang berwarna merah karena darahnya yang mengalir itu pun membentuk garis melengkung yang sempurna. “Yuki-chan, daisuki—” bisiknya lirih. Dan tepat setelah mengatakan itu, detak jantungnya berhenti. Dia—Haruma—telah mati. Mati membawa segenap cintanya yang tulus tanpa pamrih pada seorang gadis yang bagaikan salju yang menyelimuti hari-harinya yang gersang—Yuki. Gadis yang baru saja melepaskan tangannya beberapa saat yang lalu. Hanya Yuki...

***


—1 Tahun Kemudian—


[Yuki’s POV]

Hari ini adalah hari kelulusanku, yang berarti adalah hari perpisahanku dengannya—Ryosuke. Kudengar ia akan melanjutkan studinya ke Amerika. Lantas bagaimana nasib diriku? Bagaimana dengan perasaan ini? Aku mana mungkin menghendaki semua berakhir begini saja. Tiga tahun aku memendam perasaan ini. Hanya untuknya—Ryosuke. Bahkan aku dengan teganya menolak perasaan Haruma yang begitu tulus. Ah, mengingat Haruma kenapa aku jadi merasa sangat sedih. Semoga di sana ia dapat beristirahat dengan tenang. Aku yakin orang seperti Haruma akan mendapat tempat terindah di atas sana. 

Aku memandang mega yang berarak terkena terpaan angin sambil menggenggam sesuatu. Ya, itu cincin. Pemberian Haruma. Dan setiap aku merindukannya aku akan memandang mega-mega yang lembut di angkasa itu sambil menggenggam cincin pemberiannya yang aku jadikan sebagai mata kalungku ini. “Ah, Haru-kun, aku merindukanmu. Apa kau di sana juga merindukanku? Hari ini adalah hari kelulusanku. Itu artinya aku akan berpisah dengannya. Menurutmu aku harus bagaimana? Apa aku harus berterus terang padanya tentang perasaanku selama ini? Ah, Haru-kun, aku benar-benar bingung,” ujarku yang berbicara sendiri sambil masih mengamati awan dari jendela kelasku. Anak rambutku dipermainkan oleh angin yang bertiup pelan dan lembut.  Dan aku menikmatinya. Menikmati tiap buaian angin itu.



KRIETT!



Pintu di hadapanku menjeblak terbuka. Mataku membulat saat melihat sosoknya berjalan pelan mendekatiku. “Yuki-chan, sedang apa kau di sini? Kenapa tak bergabung dengan yang lain di sana?” tanyanya yang membuatku gugup setengah mati. Dan sungguh aku nyaris gila saat ia mengambil posisi duduk di sampingku. Aku sudah tak dapat membayangkan lagi bagaimana bentuk wajahku sekarang. Wajahku memanas saat menyadari ia menatapku lekat. Ia semakin mempersempit jaraknya denganku dan itu membuat napasku tak karuan.

Ano, Yuki-chan, kita belum ada photo bersama. Apa kau tak keberatan untuk photo bersamaku sekarang?” ujar Ryosuke menatapku. Ia melupakan pertanyaannya yang belum sempat terjawab olehku. Mendengar itu, bibirku melengkung sempurna. “Mochiron!” ujarku mantap.

Aku dan dia pun berphoto bersama menggunakan kamera digital miliknya.




‘Jepret’


‘Jepret’


‘Jepret’



Ryosuke tersenyum memperhatikan photo-photonya bersamaku yang baru saja diambil. “Yuki-chan, kau manis sekali,” ujarnya tersenyum memandangku setelah mengamati photo-photo kami berdua. Dan kembali wajahku memanas tak karuan. Aku tak sanggup memandang wajahnya.

Tak lama kemudian kudengar Ryosuke melangkah menjauh dariku. Kulihat ia mengambil tasnya yang tersimpan dilaci mejanya yang letaknya berseberangan dengan mejaku.

“Yuki-chan, aku pulang duluan ya. Terimakasih sudah mau berphoto bersamaku,” ujarnya tersenyum kembali dan siap beranjak meninggalkanku.

Chotto!” teriakku tanpa sadar. Entah apa yang membuat aku merasa kalau aku mesti jujur terhadap perasaanku saat ini juga. Ya, ini mungkin menjadi hari terakhirku melihat wajahnya. Orang yang begitu aku sukai selama tiga tahun terakhir ini. Dan jika bisa dibilang, ia merupakan cinta pertama untukku.

Ryosuke menatapku dengan pandangan ‘ada-apa’. Dengan langkah bergetar, aku berjalan menghampiri tempat di mana ia berdiri.

“Ryo-kun...” panggilku dengan nada bergetar.

“Yuki-chan, kau kenapa?” tanyanya cemas sekaligus heran menatap mataku yang berkaca-kaca.

“Ryo-kun, aku menyukaimu! Aku sangat menyukaimu! Bahkan sejak awal kita masuk sekolah...”

Aku dapat melihat raut kekagetan yang mendadak terlukis di wajahnya. Ia masih menatapku dengan tatapan tak percaya. Namun aku tak peduli. Aku masih saja terus berbicara. “Bahkan aku berubah jadi gadis yang lebih cantik seperti sekarang agar bisa bersamamu. Agar aku layak berjalan di sampingmu. Agar kau dapat menyadari keberadaanku...” Aku berhenti berkata-kata. Suaraku parau menahan tangis yang siap meledak. Sementara wajah Ryosuke hanya samar-samar lagi terlihat olehku karena wajahku telah dibanjiri air mata. Ah, akhirnya aku berani jujur tentang perasaanku kepada Ryosuke selama ini. Aku sungguh tak menyangka.

Gomen, Yuki-chan. Tapi aku baru saja menerima Eri-chan.”

“A-apa?! Jadi kau dan Erika—“

“Ya. Aku dan Erika-chan baru saja jadian...”

Ah, kenapa kepalaku serasa pusing seperti ini? Kenapa mesti Erika?! Kenapa?!! Seketika kurasakan kepalaku menjadi berat seperti baru saja tertimpa balok-balok berukuran besar. Aku hanya bisa menatap nanar padanya. Orang yang begitu kusukai yang ternyata telah dimiliki oleh sahabat dekatku sendiri. Bahkan sangat dekat!

“Ahahaha! Selamat! Selamat untukmu dan Erika! Kalian memang serasi! Ya, Ryo-kun! Kau tepat sekali memilih Erika yang manis untuk mendampingimu. Yeah, tak ada yang lebih layak dan pantas mendampingi Sang Pangeran selain seorang putri yang cantik jelita, 'kan? Kudoakan semoga kalian bahagia...” ujarku dalam isakan tangis. Tubuhku bergetar menahan ledakan tangis ini. Ada sesuatu yang serasa menyumbat dadaku. Rasanya begitu pedih sekali.

Aku akhirnya berlari meninggalkan Ryosuke—orang yang aku sukai dan selamanya tak akan pernah menjadi milikku. Di sepanjang koridor  semua mata memandang heran padaku yang terus berlari dengan wajah yang dibanjiri air mata. Dan tepat di ujung koridor aku berpapasan dengan Erika. Aku berhenti ketika melihatnya.

“Yuki-chan, kau kenapa?” tanyanya yang heran melihat wajahku yang kusut dan menangis tersebut. Tanpa berkata lagi, aku segera memeluknya. Erat sekali. “Erika-chan, selamat! Aku akan selalu mendoakan kebahagiaanmu bersamanya...” bisikku ditelinganya sebelum akhirnya melepaskan pelukanku padanya dan kembali berlari pergi sejauh mungkin. Berlari menjauhi segala kenyataan yang menyakitkan itu...

***


[Ryosuke’s POV]

Aku terus menatap kepergiannya bahkan hingga bayangannya tak nampak sedikitpun dari pandanganku. Aku mungkin adalah manusia paling tolol yang pernah ada. Kenapa aku begitu pengecut? Kenapa aku tak pernah bisa untuk jujur dengan perasaanku sendiri? Sesungguhnya sejak lama—bahkan mungkin sebelum ia menyukaiku aku ingin mengatakan ‘daisuki’ padanya. Pada gadis berkaca mata yang kaku dan jauh dari modis itu. Gadis yang selalu melamun menghabiskan hari-harinya menatap awan-awan di angkasa, gadis yang selalu aku inginkan berada di sampingku selama ini...

“Yuki-chan, hontou ni daisuki desu...” gumamku pelan seakan berbisik pada diriku sendiri. Aku begitu menyukainya. Bahkan aku sudah menyukainya di saat penampilannya masih sangat jauh dari modis. Aku menyukainya dari segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Aku menyukainya seutuhnya. Namun aku memang bodoh tak pernah bisa jujur pada perasaanku ini. Bahkan di saat perayaan Valentine yang lalu, aku terpaksa berbohong mengatakan bahwa bunga mawar yang kuberikan itu dari sahabatku—Haruma. Ah, andai saja Yuki tahu yang sebenarnya, bahwa Haruma tak pernah sama sekali memberikan mawar putih untuknya hari itu. Seandainya Yuki tahu aku sengaja menanam mawar putih itu untuk kupersembahkan di hari spesial itu untuknya.Seandainya Yuki tahu seberapa hancurnya perasaanku saat mengetahui ia menjadi kekasih sahabat karibku sendiri. Seandainya Yuki tahu aku setiap pagi selalu terbakar cemburu saat ia duduk di boncengan sepeda Haruma. Seandainya Yuki tahu bahwa yang sesungguhnya aku ingin mengajaknya untuk duduk di boncengan sepeda milikku saja. Seandainya Yuki tahu aku ingin sekali menjadi orang yang menggendongnya saat ia terjatuh. Seandainya Yuki tahu aku ingin menjadi satu-satunya orang yang mendapat senyumannya setiap hari. Ah, seandainya Yuki mengetahui ini semua... Tapi yang terjadi hingga sekarang adalah aku selalu memandang Yuki dari kejauhan dan hanya bisa diam-diam mencuri photonya untuk kupajang di dinding kamarku. Yah, dinding kamarku yang dipenuhi oleh semua photo-photo Yuki yang kucuri secara diam-diam.

Ah,Yuki...

Seandainya aku tahu dan sadar bahwa kau menyukaiku selama ini, tentu aku tak akan menerima Erika begitu saja. Maafkan aku, Yuki. Aku yang bodoh dan benar-benar payah ini! Sekarang aku hanya bisa berandai-andai saja tanpa bisa mewujudkan semuanya. Kenapa waktu kita tak pernah tepat Yuki? Kenapa? Andai kita sama-sama bisa jujur pada perasaan kita sejak awal...Ya, satu yang tak kita miliki sejak awal.


Kejujuran...


Tentu kau juga setuju tentang ini kan, Yuki?

***

--Owari--


Bagikan Yuk :




Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar